Tanpa Bayaran, tapi Selalu Luangkan Waktu
Usia Rumah Istimewa Paser (Rispa) terbilang belia. Namun, mereka sudah melakukan kegiatan yang bermanfaat. Rispa, Wadah Para Orang Tua Anak Berkebutuhan Khusus
RISPA adalah wadah bagi orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus (ABK). Sejak setahun lalu, pergerakan dilakukan. Yakni, mendata orang tua dengan ABK yang mau bergabung.
Ketua Rispa Andi Wardhana menyatakan, komunitasnya ingin merangkul orang tua yang memiliki ABK. Maklum, selama ini, orang tua kerap merasa minder dan terasing karena memiliki ABK. Hal itu berdampak pada pola mendidik ABK.
’’Kami mencoba menyadarkan masyarakat dan orang tua yang anaknya senasib dengan kami. Memiliki ABK bukan hal yang mudah, tapi kita harus bisa menerimanya,” ujar lelaki yang sehari-hari bertugas di Bappeda Paser, Kalimantan Timur, tersebut.
Andi melanjutkan, para ABK, terma- suk anaknya, sering menerima perlakuan yang kurang pantas. Karena itu, diperlukan peran aktif orang tua. Misalnya, menghindari menitipkan ABK ke sekolah luar biasa.
Melalui Rispa, para orang tua bisa bertanggung jawab terhadap pendidikan anak. Andi siap membantu dan berbagi ilmu tentang cara menangani ABK. Namun, dengan catatan, orang tua harus aktif.
Andi berterima kasih kepada sejum- lah relawan yang membantu membentuk Rispa. Sebab, tanpa bayaran sepeser pun, mereka berkenan meluangkan waktu dan tenaga sebagai wujud kepedulian terhadap ABK.
Dia mengaku belum memiliki data valid mengenai jumlah ABK. Dia menjelaskan, hampir seluruh kecamatan memiliki ABK. Mereka menerima perlakuan serta pendidikan yang kurang layak, baik dari rekan sejawat maupun guru. ’’Di Desa Padang Pengrapat, Kecamatan Tanah Grogot, misalnya, ada sekitar 40 ABK,” ucapnya.
Sementara itu, Asmuni Samad, asisten III Setkab Paser, menyatakan dukungannya terhadap komunitas tersebut. Menurut dia, pemerintah wajib memberikan perhatian khusus kepada ABK. Hal itu tertera dalam amanat undang-undang.
Meski pemkab belum memiliki wadah khusus, pihaknya akan ber- koordinasi dengan instansi terkait, khususnya dinas pendidikan dan dinas sosial, mengenai cara mendidik ABK. Selain memperhatikan tenaga pendidik, diperlukan wadah seperti sekolah khusus yang fokus mendidik ABK.
’’Namun, ABK tetap perlu digabungkan dengan anak normal agar terus bersosialisasi. Jangan sampai dipisahkan terus-menerus. Mereka harus membaur. Sebab, ABK kadang mempunyai kelebihan di atas rata-rata, tapi masih terpendam,” jelas Asmuni.
Dia berharap pendataan ABK di sepuluh kecamatan bisa dilakukan. Tujuannya, memudahkan koordinasi instansi terkait dalam membantu mewujudkan program. Daerah pun tak lagi bisa beralasan kekurangan anggaran untuk memperhatikan ABK. Buktinya, Rispa dapat mengumpulkan massa tanpa bantuan anggaran pemerintah. (*/ica/k16/ JPG/c18/diq)