Kenang Tsunami di Kuburan Masal Ulee Lheue
BANDA ACEH – Kuburan masal Ulee Lheue di Kecamatan Meuraxa, Banda Aceh, menjadi jujukan warga saat peringatan 12 tahun gempa dan tsunami Aceh kemarin (26/12). Harian Rakyat Aceh ( Jawa Pos Group) melaporkan, selain berziarah, warga larut dalam doa dan zikir serta mendengarkan tausiah dari Prof Farid Wajdi, rektor UIN Ar-Raniry Banda Aceh.
Ani, 65, salah seorang warga, menyatakan setiap tahun mendatangi kuburan masal tersebut. Dia yakin anggota keluarganya yang hilang 12 tahun lalu dikuburkan di tempat itu. ”Saya sering mimpi. Dalam mimpi anak saya mengatakan rumahnya di sini. Makanya, ketika teringat anak dan cucu, saya berdoa di sini,” katanya.
Warga Ulee Lheue tersebut kehilangan suami, anak, dan cucu. Walau 12 tahun sudah berlalu, Ani mengaku masih merasa trauma.
Hal serupa dirasakan Mor, 62, warga lainnya. Dia kini hidup sebatang kara. Sebab, seluruh anggota keluarganya, bahkan orang sekampungnya, habis menjadi korban. ”Saat bencana, seratus orang kerabat dan saudara saya dipangil Yang Kuasa, makanya saya kemari,” ucapnya.
Mor mengaku sepanjang hidupnya tetap teringat bencana tsunami. ”Saya selamat saat tsunami karena tersangkut di pohon kelapa depan Masjid Peukan Bada,” kenang dia.
M. Yacob, pengurus Masjid Ulee Lheue, mengatakan, kuburan masal seluas dua kali lapangan bola itu menampung sekitar 14.500 korban tsunami. ”Dulu ini bekas rumah sakit,” ucapnya. ”Saya ikut sejak awal membantu menguburkan jenazah korban tsunami di sini.”
Selain di kuburan masal, doa dan zikir bersama berlangsung di sejumlah kabupaten dan kota di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Di Nagan Raya, peringatan 12 tahun tsunami berlangsung di Masjid Jamik Baiturrahim, Gampong Suak Puntong, Kecamatan Kuala Pesisir. Setelah berdoa, warga mendengarkan tausiah yang disampaikan Tgk Ibnu Arahas.
Sementara itu, para nelayan seharian kemarin libur mencari ikan. Di Aceh Selatan dan Lhok Tapaktuan, misalnya, panglima laot mengumumkan bahwa para nelayan tidak melaut untuk memperingati tsunami. Sebagai ganti, mereka melakukan doa bersama di masjid-masjid dan tempat lain.
Panglima Laot Lhok Tapaktuan I Muhammad Taslim menjelaskan, kesadaran nelayan untuk tidak melaut tumbuh secara tulus dan telah menjadi kebiasaan di setiap peringatan tsunami. ”Ratusan nelayan yang berada di Lhok Tapaktuan, tak seorang pun melaut. Kondisi ini tentunya untuk menghargai dan mengenang musibah 12 tahun lalu.” (mag-68/mai/jpg/c9/nw)