Jawa Pos

Setengah Musim di Eropa

- Oleh: DARMANTO SIMAEPA Penulis Buku Tamasya Bola

MUSIM dingin merambati kota-kota di Eropa Barat. Sisa hujan semalam dan embun di ujung rerumputan membeku di pagi hari. Keluarga, api perapian, dan kerlip lampu Natal menghangat­kan suhu. Di tengah deru angin dari Laut Utara, inilah saat terbaik untuk melihat apa yang terjadi di separo musim kompetisi.

Premier League Di Inggris, Liverpool dan Chelsea menemukan identitas sepak bola mereka. Ketika dua manajer di Kota Manchester masih sibuk merakit tim yang solid dan tim asuhan Arsene Wenger mulai menggigil serta gemetar seperti biasa di bawah udara minus, Jurgen Klopp dan Antonio Lonte dengan cara masing-masing berhasil memadukan inovasi taktik, tontonan menarik, dan rangkaian kemenangan.

Conte layak mendapat apresiasi. Bukan karena kemampuan menyulap Chelsea yang pingsan menjadi pemuncak klasemen dalam tempo enam bulan, tetapi karena keberhasil­an mengusir hantu Jose Mourinho dari Stamford Bridge.

Conte melakukan hal yang tidak bisa dilakukan rentetan pelatih hebat sebelumnya: mencegah seisi stadion bernyanyi dan mencintai Jose.

Kini, tidak ada lagi klaim, ’’ini timnya Jose’’ atau ’’ini mentalitas Jose’’. Kemenangan Chelsea 4-0 atas MU menandai segalanya. Conte membentuk timnya sendiri dengan pemain-pemain yang dibeli Jose. Uniknya, tim Conte bermain nyaris sempurna ketika melawan timnya Jose.

Dengan kemenangan beruntun sebelas kali Chelsea, saya yakin Roman Abramovich tak lagi tidur mengigau dengan menyebut nama Josep Guardiola.

Di Anfield, kita menyaksika­n sepak bola mengalir deras penuh energi dan bertekanan tinggi dengan gol-gol yang turun seperti hujan badai. Jurgen Klopp menciptaka­n sepak bola rock and roll yang membuat seisi kota terbangun dengan senyuman di pagi hari.

Bukan hanya itu, gairah dan energi Klopp membangunk­an kembali raksasa yang lama tertidur. Dengarlah gemuruh suara kelas pekerja di Anfield dan Anda akan mengerti bahwa ribuan orang sedang bermimpi, bernyanyi, dan menari dengan mata terbuka. Mimpi tersebut menjalar ke seluruh dunia, terutama bagi generasi yang menyaksika­n kedigdayaa­n Liverpool pada 1970 dan 1980-an.

La Liga Sevilla dan Real Sociedad adalah tim yang memberikan kenikmatan tontonan, bukan Real Madrid, Barcelona, atau Atletico Madrid. Menonton Sevilla terasa seperti menghirup udara segar. Menonton Real Sociedad membuat Anda tak bisa bernapas.

Tim Jorge Sampaoli dan Eusebio Sacristan memainkan sepak bola tempo tinggi dan penuh jual beli serangan dengan hujan gol sebagai jaminan. Publik sepak bola Spanyol sepakat Sevilla menjadi kandidat juara dan Sociedad ke Liga Champions. Ukurannya?

Tengok saja saat mereka melawan Barcelona, tim terbaik dengan pemain terbaik di La Liga. Jika bukan karena mukjizat bernama Lionel Messi, Barcelona tidak akan pulang dengan poin, tetapi akan sangat malu karena kalah telak dari segi taktik dan permainan.

Oke, Real Madrid dan Barcelona masih berada di posisi satu-dua. Namun, tidak ada pertanding­an mereka yang pantas dibicaraka­n. Madrid tak pernah kalah serta tak pernah meyakinkan. Barca jelas sekali bermasalah di tengah dan menjadi kian bergantung pada suasana hati Messi.

Atletico Madrid belum pulih dari derita Liga Champions. Rumor hengkangny­a Diego Simeone ke Inter setelah pemangkasa­n durasi kontrak membuat permainan dan identitas Atletico yang solid dan efisien tampak goyah. Bundesliga Revolusi pelatih muda terlihat belum bisa menggoyahk­an kemapanan Bayern Muenchen. Inovasi taktik Thomas Tuchel, Roger Schmidt, atau Andre Schubert justru membuat Borussia Dortmund, Bayer Leverkusen, dan Bayern Moenchengl­adbach terseok-seok di papan tengah.

Posisi tradisiona­l Dortmund atau Leverkusen kini coba diisi tim-tim tua semenjana yang pernah sekali dua kali berjaya dua–tiga dekade lalu seperti Koeln, Hertha Berlin, atau Eintracht Frankfurt.

Kejutan utama paro musim di Jerman adalah munculnya tim promosi RB Leipzig. Kaya dan dibenci, Leipzig menggunaka­n cemoohan suporter lawan menjadi batu bara bagi keberhasil­an meraih posisi kedua. Kejutan itu mungkin bertahan sampai akhir musim. Namun, itu hanyalah badai dalam cawan bagi Bayern.

Serie A Di Italia, tak ada gunanya membicarak­an persaingan. Juventus akan meraih scudetto betapapun gigih usaha tim-tim dari selatan. Dengan hanya mengangkat alis saja, keluarga Agnelli bisa membeli Dries Mertens atau Mohamed Salah pada transfer Januari dan memereteli kekuatan Roma atau Napoli.

Yang menarik musim ini adalah munculnya tim-tim muda dengan kesegaran taktik. AC Milan, Atalanta, Bologna, dan Torino berani memberikan debut banyak pemain didikan akademi dan memainkan sepak bola inovatif 3-4-3 atau 3-5-2 meski masih mentah.

Montella sedang membentuk tim AC Milan yang paling menjanjika­n dalam satu dekade. Itu membuat il presidente Silvio Berlusconi bisa bernostalg­ia dengan masa indah The Dream Team sebelum menjual klub dan mengundurk­an diri.

Ligue 1 Di Prancis, tema favorit musim ini adalah Mario Balotelli dan Nice. Namun, jujur saja Balotelli tidak sepenting yang tampak dipermukaa­n. Gol-golnya memberikan beberapa kemenangan. Namun, ketika Balotelli absen pun, Nice tetap menang dan menawan.

Pujian atas keberhasil­an Nice menjadi juara paro musim harus diberikan kepada Lucien Favre. Sesuai dengan jejak rekamnya di liga Swiss dan Jerman, Favre membangun tim muda yang energik, cekatan, dan tajam. Balotelli hanya pemanis yang melengkapi adonan kue lezat yang diracik Favre.

Heboh Balotelli tidak bisa dilepaskan dari kepergian Zlatan Ibrahimovi­c. Kepindahan Zlatan membuat sepak bola Prancis kehilangan tokoh yang mengangkat pamor kompetisi. Media dan publik Ligue 1 membutuhka­n tokoh dan Mino Raiola, agen kedua pemain, pintar membaca situasi dan menjadikan Balotelli sebagai protagonis­ta baru. (*)

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia