Dunia Terancam tanpa Antibiotik
Sejak Alexander Fleming menemukan penisilin pada 1928, penggunaannya sebagai obat anti-infeksi meningkat dengan sangat cepat. Namun, hal itu menimbulkan masalah baru, yaitu munculnya populasi kuman yang kebal terhadap penisilin.
HAL ini sebetulnya diingatkan Fleming sejak 70 tahun lalu, sewaktu menerima hadiah Nobel. Dia menyebutkan bahwa penggunaan antibiotik yang kurang tepat akan menyebabkan bakteri atau mikroba menjadi resistan. Antibiotik pun tidak lagi berguna.
’’Pemberian obat yang baik harus memperhatikan 4 tepat & 1 waspada, yaitu tepat obat, tepat dosis, tepat waktu, tepat lama pemberian, dan waspada pada efek samping obat,” ujar dr Bambang Wahjuprajitno SpAn-KIC, ketua Komite Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Siloam Hospitals Surabaya.
Menurut Bambang, bila bakteri menyebabkan infeksi, harus dilakukan terapi yang benar agar perkembangannya bisa dihentikan. ”Bakteri atau mikroba itu punya kemampuan adaptasi yang cepat sekali untuk survive,” ujarnya.
Saat bakteri bermutasi, responsnya terhadap antibiotik pun berubah. Misalnya, bakteri A awalnya mati begitu diberi antibiotik yang tepat. Namun, apabila antibiotik diberikan dengan cara atau dosis yang kurang tepat, bakteri A bisa saja memperbaiki materi genetisnya (mutasi) hingga menjadi resistan terhadap antibiotik.
Dari tahun ke tahun, para ilmuwan membuat antibiotik baru untuk melawan perkembangan resistansi tersebut. Tetapi, dengan cepat pula timbul resistansi bakteri baru. ”Penelitian dan produksi antibiotik itu memakan waktu 10–15 tahun. Dalam jangka waktu itu, bakteri sudah menjadi resistan,” kata Bambang.
Kalau keadaan itu tidak diatasi dengan segera dan secara serius, sangat mungkin dunia akan kembali ke era sebelum antibiotik ditemukan. Jalan keluar mengatasi keadaan itu saat ini hanyalah pen- cegahan supaya tidak terjadi infeksi. Kalaupun ada infeksi, gunakan antibiotik secara tepat dan bijaksana sesuai saran dan resep dokter. Di AS, bakteri yang resistan terhadap antibiotik dilaporkan menginfeksi sekitar 2 juta orang setiap tahun dan sebanyak 23 ribu orang tidak bisa diselamatkan. Para ilmuwan mulai memikirkan bagaimana jika antibiotik yang beredar sekarang tidak lagi mampu melindungi manusia dari infeksi. ”Orang dengan sistem kekebalan yang lemah akan sangat rentan, tapi siapa pun punya risiko yang sama di dunia pascaantibiotik,” papar Cesar de la Fuente, bioengineer dari Massachusetts Institute of Technology (MIT). Ada beberapa langkah yang ditempuh untuk melawan bakteri mematikan. Pertama, bakteri tidak selalu harus dimatikan selama bisa dinetralkan. ”Bakteri akan tetap ada, namun infeksi yang ditimbulkan tidak parah. Proses itu akan mengha- silkan sistem kekebalan pada tubuh, kesempatan untuk memerangi infeksi tersebut,” ujar François Franceschi, program officer untuk pengembangan terapi Bacteriology and Mycology Branch, National Institute of Allergy and Infectious Diseases (NIAID).
Kedua, membuat antibiotik yang ada sekarang menjadi lebih efektif. Para ilmuwan sedang meneliti penggunaan partikel nano untuk menghasilkan obat kanker dan antibiotik. Antibiotik menyebar ke seluruh tubuh dan merupakan racun dalam dosis tinggi. Dengan partikel nano, obat dalam konsentrasi tinggi bisa disatukan dalam satu partikel. ”Kekuatannya mampu menghadang mekanisme resistansi bakteri,” ujar Liangfang Zhang, nanoengineer University of California, San Diego.
Alternatif lain adalah memanfaatkan phage (sejumlah virus yang menginfeksi bakteri dan bisa mematikannya). ”Pada dasarnya mereka adalah musuh natural bakteri,” ucap Lu. Atau, menggabungkan berbagai strategi di atas untuk menghambat pertahanan bakteri. ”Bakteri berkembang dengan sangat cepat dan kita harus terus menemukan cara baru untuk menangkalnya,” lanjutnya. (len/nor/c7/ayi)