Kembalikan Fungsi Kapal seperti Film Saving Private Ryan
Kisah Letkol Laut (P) Yudo Ponco Ari Merekondisi Sekoci Pendarat Amfibi TNI-AL Hati Ponco teriris saat melihat banyak kapal perang yang berakhir di penampungan besi tua. Tidak ingin hal itu terulang, dia merekondisi sebuah sekoci pendarat amfibi. Kini sek
’’ SETIAP pelaut percaya bahwa tiap kapal selalu punya jiwa.” Pepatah kuno tersebut memiliki arti mendalam bagi pelaut. Pepatah itu pula yang mengilhami seorang perwira TNI-AL Letkol Laut (P) Yudo Ponco Ari. Bagi dia, kapal di laut bukan hanya sebuah benda mengapung. Lebih dari itu, ada ratusan sejarah yang tersimpan di dalamnya. Sejarah yang kerap terlupa tentang kehebatan pelaut TNI-AL dalam mengarungi samudra untuk mempertahankan perairan NKRI.
Atas dasar itu, alumnus Akademi Angkatan Laut tahun 1999 tersebut tidak rela melihat kapal-kapal perang TNI-AL harus ’’pensiun’’ di tempat besi tua. Hatinya sesak melihat beberapa sekoci pendarat amfibi menjadi barang rongsokan yang tidak berguna. Padahal, sekoci-sekoci tersebut pernah menerjang gelombang samudra dengan membawa puluhan prajurit Marinir. ’’Mereka selayaknya prajurit, jadi harus berakhir dengan apresiasi yang tinggi atas jasa-jasanya selama bertugas,” kata Ponco.
Berbekal rasa prihatin itu, tercetus ide untuk memensiunkan sekoci pendarat amfibi di tempat yang layak. Dia ingin masyarakat bisa melihat dan mengenang kehebatan sekoci itu.
Gayung bersambut. Saat Ponco getol menyuarakan untuk merekondisi kapalkapal bersejarah, pengelola Museum Angkut menghubunginya
Dia diminta menghadirkan satu kapal bekas TNI-AL untuk dipajang di sana. ” Tujuannya untuk edukasi maritim bagi masyarakat,” terangnya.
Ponco lantas memilih satu sekoci pendarat amfibi yang memiliki nama lain landing craft vehicle and personnel (LCVP). Sekoci itu merupakan bekas milik KRI Teluk Semangka 512. LCVP adalah kendaraan air yang unik. Fungsinya, mengangkut personel dan material dari kapal utama menuju pantai pendaratan.
Bedanya dengan sekoci biasa, LCVP tidak memerlukan dermaga. Sebab, sekoci itu mampu melakukan beaching atau menjangkau pantai. LCVP mampu masuk ke bibir pantai dan membuka pintu depan. Sekilas mirip sekoci tentara yang dipakai pada film Saving Private Ryan atau miniseri The Pacific. Kapal tersebut memang menjadi favorit militer Amerika Serikat untuk operasi amfibi pada Perang Dunia II.
Ponco yang sehari-hari menjabat komandan Sekolah Komando Pasukan Katak, Pusdiksus, itu tentu saja tidak sembarangan memilih kapal LCVP untuk dipajang di Museum Angkut. Dia sengaja memilih LCVP bekas milik KRI Teluk Semangka 512. Alasannya, KRI Teluk Semangka 512 adalah satu-satunya kapal perang yang dibeli baru dan akhirnya dipensiunkan oleh TNI-AL. Maklum, sejak era Orde Baru, TNI-AL hanya memensiunkan kapal-kapal yang dibeli dari tangan kedua alias bekas.
KRI Teluk Semangka dibeli langsung dari Korea Selatan pada 1982. Kapal tersebut bertugas selama 30 tahun. Pada 2003 kapal itu resmi ’’dipensiunkan’’. Begitu pula dua sekoci pendarat amfibi yang menjadi kelengkapan KRI Teluk Semangka.
Selain itu, KRI Teluk Semangka 512 adalah kapal perang pertama yang dinaiki Ponco saat masih sebagai prajurit taruna di Akademi Angkatan Laut, 21 tahun silam. ’’Ada ikatan batin yang kuat antara saya dan KRI Teluk Semangka 512 ini,’’ ungkapnya. Dia lantas mengenang kembali saat mengikuti latihan pelayaran Pra Jalasesya. Waktu itu, dia menjadi salah seorang kru KRI Teluk Semangka. Komandannya adalah Letnan Kolonel Laut (P) Tedjo Edhy Purdijatno. Tedjo kini pensiun dengan jabatan terakhir laksamana TNI. Dia juga pernah menjadi KSAL serta menteri koordinator bidang politik, hukum, dan keamanan.
”Saya masih ingat bagaimana kali pertama naik kapal perang. Seumur umur tidak pernah mimpi jadi Angkatan Laut. Dari atas geladak KRI Teluk Semangka ini, kecintaan saya terhadap TNIAL tumbuh,” ujar Ponco. Dia merasa Tuhan telah menunjukkan jalan hidup pengabdian terbaik di TNI-AL.
Ponco menjelaskan, KRI Teluk Semangka pernah mendukung Angkutan Laut (Duk Angla) Kontingen Garuda. Kapal perang tersebut sering terlibat dalam program bantuan bencana alam. KRI itu juga ikut latihan Armada Jaya, latihan Gabungan TNI, Operasi Surya Bhaskara Jaya, pergeseran pasukan TNI maupun Polri, Operasi Trisila, operasi pengamanan laut, hingga pengamanan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI). ”Yang paling mencolok adalah perannya dalam operasi militer Aceh. KRI Teluk Semangka 512 punya peran penting dalam melaksanakan pendaratan amfibi saat itu. Tentunya lewat LCVPnya” jelas Ponco.
Untuk merekondisi LCVP itu, Ponco mengaku cukup keteteran. Selain kondisi kapal yang sudah aus dan berkarat, beberapa kelengkapannya hilang. Pintu depan kapal ternyata juga tidak berfungsi. ”Padahal, pintu ini yang jadi ciri khas LCVP,” lanjutnya. Dibantu tim kreatif dari Kopaska (Komando Pasukan Katak), Ponco berusaha merekondisi kapal bernomor lambung 512-1 tersebut. Tak mudah memang. Ponco harus memutar otak agar kapal LCVP itu bisa berfungsi kembali seperti semula.
Untung, Ponco bertugas di Pusat Pendidikan Khusus yang menjadi gudang pekerja bawah air terbaik dan pasukan khusus terlatih. Jadi, banyak referensi dan ilmu yang didapatkan agar rekondisi LCVP berjalan baik. ’’Walau hanya jadi pajangan, saya tidak mau sembarangan. Saya harus mengembalikan kapal ini ke kondisi seperti aslinya lagi. Sistem buka tutup rampa haluannya dibuat kembali berfungsi,” tegas pria 39 tahun itu. Dia ingin masyarakat bisa melihat langsung bagaimana salah satu unsur pendukung dalam operasi amfibi tersebut dilaksanakan.
Setelah seminggu mengumpulkan informasi dan merekondisi kendaraan seberat 9,5 ton tersebut, pria yang juga pembina komunitas sejarah Roodebrug Soerabaia itu berhasil menyelesaikan pekerjaannya. Untuk mesin pendorong, Ponco menggunakan mesin diesel bekas. Mesin itu diambil dari bekas kapal serupa yang sudah masuk tempat pembuangan. Posisinya dipasang sedemikian rupa hingga kincir pendorong bisa berputar dan berfungsi saat mesin dihidupkan.
Ada juga sling kabel baja di badan kapal. Karena tidak ada kabel baja yang sesuai, Ponco merekondisinya dengan kabelkabel buatan sekarang. Lempengan besi di dalam kabel dikumpulkan, diikat jadi satu hingga menyerupai sling kabel baja asli milik LCVP. Bagian tersulit adalah merekondisi pintu rampa haluan kapal. Berfungsi secara manual, Ponco harus menganibal beberapa komponen dan mengganti kabel sling lama dengan baru. ”Cukup berkeringat di bagian rampa ini. Syukur, akhirnya bisa berfungsi. Bisa dibuka-tutup manual seperti kondisi aslinya,” ungkap Ponco, bangga.
Berapa dana yang dihabiskan untuk proses rekondisi itu? Dia enggan menyebutkan. ’’ Yang jelas, sepadan dengan usaha menghidupkan kembali prajurit tua yang sudah lama tertidur,” kata Ponco, berfilosofi. Selain rekondisi, biaya yang tidak murah dibutuhkan untuk proses angkut sekoci berukuran panjang 12 meter dan lebar hampir 3 meter itu. Sekoci tersebut diangkut dari workshop- nya di Surabaya Utara hingga Museum Angkut, Batu. ”Ibarat saya membawa benda yang seharusnya berada di air, lalu saya gotong hingga kaki gunung,” ujar Ponco.
Untuk menaikkan ke trailer saja, Ponco membutuhkan crane dengan kekuatan minimal 25 ton. Butuh waktu empat jam untuk membawa sekoci itu dari Surabaya menuju Batu. Untuk menghindari kemacetan, proses angkut dilakukan saat tengah malam.
Ponco ingin membuat aksi teatrikal untuk menyambut terinstalnya LCVP di Museum Angkut. ’’Saya ingin menampilkan simulasi bagaimana rampa terbuka dan pasukan keluar dari dalam LCVP, seolah-olah baru menyentuh bibir pantai,” tuturnya.
Dia berharap, dengan kehadiran kapal LCVP 512-1 di Museum Angkut, masyarakat bisa mengenal sejarah kemaritiman Indonesia. ”Supaya ada penghargaan untuk alutsista bersejarah ini. Sudah sepantasnya ia dihargai di tempat yang layak. Ini juga menjadi sarana edukasi dan bukti sejarah kemaritiman Indonesia setelah sekian puluh tahun mengabdikan diri untuk NKRI,” tandasnya. (*/c7/oni)