Kemampuan Sama, Gaji TKA Lebih Tinggi
Pemprov Temukan Perusahaan Nakal
SURABAYA – Permasalahan tenaga kerja asing (TKA) masih menjadi perbincangan di lingkungan Pemprov Jatim. Selain masalah legalitas, besaran gaji TKA juga dipersoalkan. Sebab, TKA ternyata lebih mendapat prioritas ketimbang tenaga kerja lokal. Penghasilan TKA di atas Rp 6 juta, sedangkan tenaga kerja Indonesia hanya sekitar Rp 4 juta. Padahal, keahlian dan bidang yang dikerjakan sama.
Temuan itu diungkapkan Kepala Dinas Tenaga Kerja Transmigrasi dan Kependudukan (Disnakertransduk) Jatim Sukardo
Dia mengatakan, ketimpangan gaji tersebut ditemukan di beberapa perusahaan di wilayah Jawa Timur. Menurut Sukardo, ada beberapa perusahaan yang berusaha menyiasati masalah gaji untuk TKA itu.
Misalnya, ada yang hanya memberi Rp 2 juta kepada TKA agar seolah- olah tidak ada pembedaan gaji dengan tenaga pribumi. Padahal, Rp 2 juta tersebut hanya bagian kecil dari gaji TKA. ”Selebihnya dikirim langsung ke k e luar ga nya di negara asal,” katanya. Saat ini disnakertransduk bersama tim pengawasan orang asing (timpora) sedang menelusuri perusahaan-perusahaan culas itu.
Sukardo sudah menerbitkan nota sanksi untuk perusahaan yang melanggar. Nota sanksi berbentuk teguran tersebut bertujuan pengusaha melengkapi dokumen TKA sesuai Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Masa tenggang nota tersebut dua pekan. Apabila tidak ada perubahan, disnaker akan menindak tegas. ”Kami akan bawa ke ranah pidana,” tegas dia.
Menurut dia, tidak semua perusahaan bersedia membuka diri. Tidak sedikit perusahaan yang menolak petugas saat hendak melakukan pemeriksaan. Akibatnya, pendataan di lapangan sering terhambat.
Divisi Imigrasi Kantor Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum HAM) Jawa Timur telah mendapat data jumlah TKA legal. Di Jawa Timur, jumlahnya 8.601 orang. Di antara jumlah tersebut, sekitar 3 ribu bekerja di sektor industri. Lalu, 899 orang bergerak di bidang konstruksi. Selebihnya bekerja di bidang perdagangan, pendidikan, dan rumah makan.
Kepala Divisi Imigrasi Kantor Kemenkum HAM Jatim Lucky Agung Binarto mengatakan, pendataan TKA secara detail masih sulit. Sebab, tidak sedikit pengusaha yang kurang terbuka. Mereka sering menolak saat diminta data jumlah dan jenis pekerjaan TKA. ”Tidak jarang TKA itu kabur saat kami tiba di lokasi,” jelas dia.
Sampai Oktober 2016, pihaknya sudah mendeportasi ratusan warga negara asing (WNA). Selain itu, masih banyak WNA yang menunggu putusan pengadilan. Lucky memperkirakan, jumlahnya tidak jauh beda dengan tahun lalu ( selengkapnya lihat grafis).
Masih ada puluhan WNA yang ditahan di ruang detensi imigrasi. Asal negara mereka pun tak jauh beda dengan tahun lalu. Yakni, didominasi WNA asal Tiongkok. Namun, Lucky menaksir, ada peningkatan pelanggar dari Malaysia dan Singapura. Menurut dia, banyak TKA yang menyalahgunakan visa pariwisata. Peluang pelanggaran memang cukup besar. Apalagi, mulai tahun ini visa wisata untuk 169 negara digratiskan. ”Awalnya menggunakan visa wisata, tapi bablas juga cari kerja di sini,” lanjut Lucky.
Dia menerangkan, pelanggaran itu disebabkan kebijakan Indonesia yang memperketat aturan untuk TKA. Kualifikasi yang disyaratkan pun cukup sulit. ”Seharusnya hanya tenaga ahli yang boleh masuk, tapi kenyataannya sudah masuk tenaga-tenaga kasar,” katanya.
Untuk lebih mempermudah pengawasan, pihaknya mengajak masyarakat berperan aktif. Jika menemukan kejanggalan di lingkungan sekitar, masyarakat bisa langsung lapor ke pihak berwenang. ”Kalau bersinergi dengan masyarakat kan lebih luas cakupannya, jadi lebih mudah mengawasi,” ujarnya.
Lucky mengakui, gaung kinerja timpora hingga kini belum terasa. Umur yang masih relatif baru membuat timpora belum bisa bekerja maksimal. Apalagi, anggaran untuk timpora baru ada sejak 2015. ”Untuk menyinergikan sebuah tim ini kan ndak mudah, masih terus kami cari formulasi terbaik agar lebih efektif,” katanya. (riq/aji/c10/oni)