Tambah GPK dan Pusat Pelatihan

SURABAYA – Kualitas tenaga pendidik di sekolah inklusi perlu ditingkatkan. Hingga kini masih banyak sekolah inklusi yang kekurangan guru pendamping khusus (GPK). Kondisi tersebut diperparah minimnya penguasaan guru kelas untuk penanganan anak berkebutuhan khusus (ABK).

’’Problem kekurangan ini memang wajar terjadi karena sekolah inklusi baru berkembang. Jadi, banyak sekolah inklusi yang belum memiliki prasana dan GPK memadai,’’ ungkap pakar pendidikan luar biasa Unesa Mudjito.

Dia menegaskan, kekurangan GPK berkaitan dengan minimnya lulusan PLB di perguruan tinggi yang tercetak setiap tahun. Padahal, kebutuhan GPK di sekolah inklusi cukup besar. ’’Idealnya, satu GPK hanya memberikan pelayanan khusus pada lima siswa. Jadi, setiap sekolah butuh lebih dari dua GPK,’’ tuturnya.

Untuk mengatasi kekurangan itu, cara tercepat yang bisa ditempuh melatih guru. Kini upaya tersebut dilakukan Unesa dan beberapa perguruan tinggi lain yang memiliki jurusan PLB.

Guru akan dilatih dua semester. Materinya penanganan siswa ABK dalam pembelajaran. ’’Setelah lulus program ini, guru akan mendapat sertifikat pengajar inklusi yang bisa digunakan sebagai syarat mengajar di sekolah inklusi,’’ jelas pria 61 tahun itu.

Mudjito mendorong adanya training center untuk pendidikan inklusi di setiap kabupaten/kota. Pendirian pusat pelatihan tersebut berfungsi sebagai percepatan pelatihan penanganan dan layanan inklusi di setiap daerah.

Demi menghemat biaya, Mudjito menyarankan agar pusat pelatihan didirikan atau digabung dengan SLB atau sekolah inklusi yang sudah mapan. ’’Modelnya mirip getok tular, satu sekolah inklusi yang berpengalaman dan memiliki fasilitas lengkap bisa membantu sekolah lain,’’ paparnya.

Terpisah, anggota DPRD Jatim Komisi E Agatha Retnosari mengungkapkan, saat ini Jatim terus berupaya mewujudkan sebagai provinsi inklusi. Bukan hanya bidang pendidikan, iklim inklusi tersebut akan menular ke lingkup masyarakat.