Pedasnya Eskalasi Harga Cabai
MELESATNYA harga cabai rawit hingga di luar ambang kewajaran sesungguhnya bukanlah fenomena pertama terkait pembentukan harga dalam ekonomi dan sistem pemasaran produk agrobisnis. Meskipun pada hari-hari ini harga sudah menurun, cabai masih tetap di atas Rp 100.000 per kilogram. Juga, hal itu telah membuat banyak pihak kedodoran merespons berkembangnya kondisi dinamis tersebut. Lagi-lagi kita tidak siap menghadapi gejolak musiman kontroversial meski sejak awal tahu bahwa dalam mekanisme pasar harga ditentukan bekerjanya peran penawaran dan permintaan.
Hukum ekonomi mengingatkan bahwa harga dipastikan terkerek naik begitu jumlah barang yang ditawarkan jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan permintaan pasar. Sebaliknya, harga terpelanting ke bawah ketika jumlah barang yang ditawarkan mulai berjibun dan lebih banyak ketimbang permintaan pasar.
Masalahnya, walaupun harga cabai rawit melonjak, tetap saja sejumlah konsumen memburunya. Rendahnya pasokan tidak terlepas dari terganggunya produksi di sejumlah sentra budi daya, menyusul perubahan iklim dan efek berantai bencana hidrometeorologi. Curah hujan dan kelembapan udara yang tinggi memunculkan banyak penyakit tanaman seperti patek dan virus kuning, bahkan menstimulasi gagal panen sehingga produksi anjlok sampai lebih dari 20 persen. Implikasinya, pasokan ke pasar menurun. Dalam kondisi normal panen cabai bisa 12–15 kali petik, tetapi kali ini hanya 8–10 kali petik.
Intervensi Harga Identik konsep permintaan dan penawaran sebagai penentu harga, tidak selalu demikian fenomenanya berlaku mutlak pada produk agrobisnis. Sifat melekat sebagai produk musiman, tidak bisa disimpan lama dalam kondisi tetap segar dan memakan tempat ( voluminous), membuatnya berbeda dengan hasil industri. Keterkaitan dengan agroklimat membuat sulitnya prediksi hasil, apakah akan melimpah atau defisit.
Karena bukan komoditas pangan utama, tidak banyak yang bisa dilakukan pemerintah untuk bisa mengerem meroketnya harga cabai rawit. Berbeda sekali konteksnya jika harga beras, gula, dan daging melonjak, pemerintah dipastikan bisa langsung meng intervensi. Walaupun demikian, dalam pasar agrobisnis senantiasa terbuka peluang bagi pemerintah untuk punya andil menentukan metode solusi.
Bentuknya bisa berupa kebijakan harga dasar ( floor price) sebagai bagian integral untuk menjaga animo produsen tetap ke sawah. Juga, harga eceran tertinggi ( ceiling price) dalam kerangka melindungi konsumen dari dampak fluktuasi harga yang bisa bergerak liar. Bila produksi dalam negeri diperkirakan tidak mampu menutup kebutuhan, pemerintah tidak diharamkan menambah stok melalui instrumen impor dengan ekspektasi lonjakan harga ekstrem tinggi dapat dihindari.
Harga yang dikendalikan ( restrained price) diberlakukan dengan tujuan mempertahankan harga pada level tertentu dan menghindari membubungnya inflasi. Selama berada dalam batas-batas terjaganya harga pada tingkatan wajar dan tidak memantik anjloknya harga pada level petani produsen hingga di bawah biaya produksi, tindakan tersebut sahsah saja untuk dilakukan.
Dalam kegiatan pemasaran produk agrobisnis, terdapat tiga subjek penentu terbentuknya harga. Yakni; (i) produsen yang mengacu biaya produksi ditambah margin keuntungan dengan besaran tertentu dalam batas-batas kewajaran atau minimal sedikit di atas bunga bank komersial; (ii) konsumen pada daya beli, kebutuhan, dan kesukaan; (iii) pemerintah melalui regulasi pemberlakuan sistem pengendalian harga sebagai upaya melindungi konsumen berpendapatan rendah.
Pembentukan harga produk agrobisnis lagi-lagi ditentukan daya pembentukan harga pada level konsumen yang mencakup rumah tangga, industri, dan produsen. Di sini, daya pembentukan harga konsumen rumah tangga mengacu ratarata pendapatan bersih ( disposable income) sebagian besar anggota masyarakat untuk keperluan hidup. Walaupun demikian, dari pendapatan yang rendah tersebut, alokasi untuk mencukupi bahan pangan selalu berada pada urutan teratas. Kondisi itulah yang memaksa pemerintah harus mengambil tindakan agar pengeluaran rumah tangga kelompok tersebut tidak semakin berat gara-gara naiknya harga pangan.
Begitu pula, selama dapat dilaksanakan secara taat asas, penetapan harga acuan untuk sejumlah produk agrobisnis oleh pemerintah memiliki implikasi luas memotivasi petani produsen agar meningkatkan produksi. Apalagi bila produk tersebut sangat dibutuhkan dan pasti laku seperti cabai rawit. Harga acuan memungkinkan petani produsen dapat mengalkulasi biaya usaha tani dan mengestimasi pendapatan mendekati akurat. Sedangkan daya beli konsumen pada titik optimal menjadi perhatian pedagang dan produsen dalam memasarkan produk. Pedagang aceran secara tidak langsung dapat menentukan daerah pemasaran akan jenis dan jumlah produk dengan banyak permintaan pasca tercapainya kesepakatan harga.
Akses Informasi Kalau benar setiap mata rantai dalam kegiatan distribusi produk agrobisnis diarahkan untuk mencapai kinerja pemasaran optimal, tentu sejumlah instrumen penting perlu dilakukan secara simultan. Saluran pemasaran yang dapat diandalkan bagi produsen, lengkap dengan informasi jumlah dan kualitas produk dibutuhkan dari waktu ke waktu serta bersifat real time. Selanjutnya diikuti mekanisme pembentukan harga melalui interaksi pasokan versus kebutuhan. Semua itu memerlukan ketajaman intuisi semua pihak.
Pedasnya implikasi kenaikan harga cabai rawit hendaknya dilihat secara proporsional untuk melakukan gerakan pembenahan internal di semua aspek dalam bentuk program aksi. Mulai budi daya, pemasaran, kelembagaan petani, riset aplikatif untuk menghasilkan benih unggul dan agroekoteknologi agar tanaman mampu menghadapi gejolak agroklimat. Bagi petani, selama sebuah kegiatan budi daya tanaman mampu memberikan manfaat ekonomi lebih baik, otomatis komoditas tersebut akan dijadikannya opsi.
Tugas pemerintah adalah menyediakan akses informasi memadai yang diperlukan petani tentang berbagai aspek yang terkait dengan cabai rawit secara akurat, transparan, dan akuntabel. Demikian pula pengembangan sentra budi daya cabai rawit dan komoditas agrobisnis lain secara terintegrasi serta terkait industri dalam bingkai tata ruang kawasan. Semua itu akan memudahkan pola pembinaan mengarah ke penguatan posisi tawar ( bargaining position) petani dalam semangat pembangunan berkelanjutan. (*)