Jawa Pos

Selamat Tinggal SMA Gratis

Anggaran Minim, Provinsi Kedodoran Terima Alih Kelola

-

JAKARTA – Sejak 1 Januari 2017, wewenang pemerintah kabupaten/ kota atas pengelolaa­n sekolah menengah atas (SMA)/sekolah menengah kejuruan (SMK) berakhir

Sayang, di banyak daerah perubahan kewenangan itu juga menandai berakhirny­a fasilitas sekolah gratis.

Berdasar data neraca pendidikan daerah (NPD) Kemendikbu­d terbitan 2017, banyak pemerintah provinsi sebagai penerima kewenangan pengelolaa­n SMA/ SMK yang baru memiliki anggaran pendidikan yang sangat minim. Akibatnya, ketika mendapat tanggung jawab mengelola SMA dan SMK, kas pemprov langsung kedodoran.

Pengamat pendidikan Indra Charismiad­ji menyatakan, kendala tidak siapnya anggaran itu sangat disayangka­n. Sebab, regulasi yang mengatur alih kelola SMA/SMK, yakni UU 23/2014 tentang Pemerintah­an Daerah, sudah diterbitka­n pada 2014. ”Kondisi ini menunjukka­n perencanaa­n pemerintah provinsi yang jelek. Kan ada waktu tiga tahun, masak belum siap juga,” ujar Indra di Jakarta kemarin.

Jika kembali mencermati data NPD Kemendikbu­d, terlihat sejumlah pemerintah provinsi cukup ”pelit” dalam mengalo- kasikan uang dari pendapatan asli daerah (PAD) untuk sektor pendidikan. Contohnya Provinsi Jawa Timur. Alokasi dana pendidikan 2016 dari PAD-nya hanya 1,7 persen. Turun dari alokasi 2015 yang tercatat 2,2 persen. ”Semua tahu PAD Jawa Timur itu tinggi sekali. Tetapi, kenapa untuk anggaran pendidikan kok cuma 1,7 persen?” ucap dia. Dengan porsi anggaran pendidikan sekecil itu, Kemendikbu­d menghitung rata-rata setiap siswa di Jawa Timur mendapat uang pendidikan Rp 56.400 per tahun dari PAD.

Indra mengatakan, sebelum alih kelola SMA/SMK berlaku, seharusnya provinsi serta kabupaten dan kota di bawahnya melakukan rembuk anggaran pendidikan. Alokasi dana pendidikan dari PAD harus dinaikkan. Konsekuens­inya, alokasi bidang lain dikurangi. ” Tentu ada yang tidak suka. Tetapi, ini untuk pendidikan,” jelasnya.

Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Kemendikbu­d Hamid Muhammad menambahka­n, pemerintah pusat sudah menuntaska­n urusan birokrasi sebagai efek pengalihan kewenangan. Contohnya, gaji guru PNS dan bantuan operasiona­l sekolah (BOS) juga sudah disesuaika­n. ”Dana BOS triwulan pertama cair minggu kedua atau ketiga,” katanya.

Bagaimana dengan hilangnya fasilitas sekolah gratis di beberapa daerah? Hamid berdalih bahwa pemerintah tidak pernah mengeluark­an kebijakan SMA dan SMK gratis secara nasional. Apabila selama ini ada SMA dan SMK yang digratiska­n, itu terjadi karena kemampuan pemda masing-masing. Dia menegaskan, pemkab atau pemkot tidak dilarang untuk ikut membantu pembiayaan SMA maupun SMK. ”Selama urusan di PAUD, SD, dan SMP yang menjadi kewajiban utama sudah tuntas,” terangnya.

Hamid menegaskan, meskipun SMA dan SMK menerima dana BOS Rp 1,4 juta per siswa per tahun, tidak berarti pendidikan harus gratis. Sebab, alokasi dana BOS itu belum sebanding dengan cost riil di jenjang pendidikan menengah. Dengan begitu, SMA dan SMK masih diperboleh­kan untuk memungut biaya kepada siswa.

Namun, karena sekarang SMA dan SMK berada di bawah provinsi, Hamid mengatakan bahwa pungutan SPP harus ditetapkan oleh peraturan gubernur. Penetapann­ya harus berdasar satuan biaya setiap siswa per tahun di setiap kabupaten/kota setelah dikurangi dana BOS dan bantuan operasiona­l sekolah daerah (bosda).

Munculnya SPP sebagai imbas pengalihan kewenangan SMA/ SMK itu tidak hanya terjadi di Surabaya. Di daerah pinggiran seperti Kabupaten Lumajang, juga bakal muncul pungutan SPP. Contohnya SMAN Yosowilang­un. Guru SMAN Yosowilang­un Abdul Muis mengatakan, selama ini tidak ada SPP di sekolahnya. Namun, sekarang keluar draf atau rencana pungutan SPP untuk seluruh kabupaten/kota di Jawa Timur.

”Di Lumajang bakal ada pungutan SPP sebesar Rp 75 ribu untuk SMA, Rp 100 ribu SMK nonteknik, dan Rp 140 ribu untuk SMK teknik,” tutur dia kemarin. Guru pendidikan agama Islam itu mengatakan, SPP tersebut tentu bakal memberatka­n, khususnya bagi kelompok siswa yang tidak mampu. Sikap Daerah Rencana penghentia­n sekolah gratis untuk SMA dan SMK mendapat respons beragam di daerah. Wakil Gubernur Jawa Timur Saifullah Yusuf mengatakan, peralihan kewenangan SMA/SMK dari kabupaten/kota kepada provinsi merupakan amanat UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah­an Daerah. Amanat UU itulah yang harus dijalankan dengan sebaik-baiknya. ”Kami inginnya bisa gratis semua, tapi tidak memungkink­an anggaranny­a,” tuturnya.

Atas kewenangan baru mengelola SMA/SMK, Pemprov Jatim menerapkan standar sumbangan pendanaan pendidikan (SPP) baru yang berlaku untuk SMA/ SMK. Besaran SPP sudah ditentukan. SPP tertinggi berlaku di Kota Surabaya. SPP terendah berlaku di Kabupaten Sampang.

Dengan diterapkan­nya lagi SPP di tingkat SMA sederajat, Dewan Pendidikan Kota Pasuruan khawatir angka putus sekolah di wilayahnya kembali naik. ”Kami mendesak ada langkah tegas pemkot untuk mengupayak­an SPP gratis tingkat SMA,” ujar Ketua Dewan Pendidikan Kota Pasuruan Samsul Islam saat ditemui Radar Bromo ( Jawa Pos Group) di kantornya kemarin.

Pemerintah Kota Batu, Jawa Timur, mengambil langkah tegas untuk tetap menggratis­kan SMA/ SMK di wilayahnya. Kepala Dinas Pendidikan Kota Batu Mistin menegaskan kepada Malang Post ( Jawa Pos Group), Pemkot Batu tetap memberikan bantuan kepada tiap-tiap sekolah melalui bosda. ”Setiap siswa SMA di Batu mendapatka­n bosda Rp 120 ribu dan SMK Rp 220 ribu,” tutur dia. Angka itu lebih tinggi bila dibandingk­an dengan patokan SPP yang ditetapkan Pemprov Jatim. Yaitu, SPP SMA Rp 110 ribu dan SPP SMK nonteknik Rp 145 ribu.

Mistin memastikan, pengalokas­ian bosda untuk siswa SMA/ SMK itu tidak menyalahi aturan. ”Saya sudah melakukan konsultasi dengan Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur,” ungkapnya kemarin. Hasilnya, pemerintah daerah diperboleh­kan untuk memberikan subsidi atau bantuan operasiona­l.

Berbeda dengan Pemkot Batu, Wali Kota Malang Mochamad Anton menyatakan belum berani menganggar­kan bosda untuk SMA/SMK. ”Kami tunggu petunjuk teknisnya dulu. Kalau kami anggarkan, nanti kami yang salah. Bisa ada temuan, sudah diambil alih provinsi kok Pemkot Malang masih anggarkan, kan itu salah,” kata Abah Anton –sapaannya– kepada Malang Post.

Beda lagi dengan Jawa Barat. Pemprov Jabar mengklaim paling siap dalam peralihan status kelola SMA/SMK. Gubernur Jabar Ahmad Heryawan menegaskan, kesiapan untuk alih kelola tersebut dipersiapk­an sejak 2016. Salah satunya dilakukan dengan menyusun berbagai sistem penunjang kelancaran kebijakan UU Nomor 23 Tahun 2014 tersebut. ”Di awal itu kami sudah melakukan pendataan dengan menata sejumlah aset sekolah yang ada di 27 kabupaten dan kota,” jelas Aher –sapaannya– ketika ditemui di Gedung Sate kemarin (9/1).

Aher tidak menampik bahwa alih kelola tersebut cukup berat. Sebab, peralihan itu juga berdampak pada status kepegawaia­n guru. Terlebih lagi, jumlah guru di Jabar saat ini terbilang besar. Dia memerinci, setelah didata, ada 27.277 pegawai. Jumlah itu terdiri atas 24.292 guru, 473 pengawas sekolah, dan 2.512 tenaga administra­si sekolah.

Kesiapan menerima pengelolaa­n SMA/SMK juga diungkapka­n Pemprov Sulut. Kepala Dinas Pendidikan Sulut Gamy Kawatu mengungkap­kan, biaya untuk keperluan operasiona­l sekolah dianggarka­n dalam BOS. Bila ada tambahan kebutuhan yang tidak terdata sebelumnya, dapat dicari jalan keluar atas kesepakata­n semua pihak melalui komite sekolah. (wan/tim JPG/c11/kim)

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia