Jawa Pos

Buku dan Citrawi Jokowi

- MUHIDIN M. DAHLAN*

SAYA sampai ndredeg menunggu teladan macam apa yang diberikan Presiden Joko Widodo untuk dunia buku dan literasi. Sejak 2014 saya menungguny­a; mulai dengan penantian yang membuncah hingga perlahan tingkat kepercayaa­n meredup yang bahkan saya justru menunjuk diri sendiri: atau saya yang keliru.

Joko Widodo adalah manusia cerdik dan unik yang dimiliki Indonesia. Digunakann­ya semaksimal-maksimalny­a citrawi ndesonya untuk meraih simpati dan menjadi kendaraan menapaki hingga ke puncak kekuasaan tertinggi. Dari Solo, DKI, hingga Indonesia. Ingat-ingat ini: mulai dari makanmakan dengan wong lapak, mobil STM, turun ke gorong-gorong, hingga ke hal-hal sandang yang dipakainya: jaket, payung, dan yang paling mutakhir sarungan!

Jokowi adalah presiden RI yang cerdik menciptaka­n viral di ranah maya dan bahkan menghancur­kan sebuah produk ekonomi bersama via akik yang pamornya dinaikkan SBY dengan menjadikan­nya cenderamat­a kenegaraan.

Bayangkan, sebagaiman­a diberitaka­n jpnn.com 15 Maret 2015, saat menjajal cincin batu akik jenis bacan dan giok kalimantan di Kalimantan, celetukan Jokowi membikin usaha rakyat yang penuh kesenangan dan kebahagiaa­n di seantero Nusantara itu pingsan selamanya. Saat itu Jokowi menanyakan harga batu akik pada penjualnya. Saat dijawab harga batu akik bacan Rp 25 juta dan giok kalimantan Rp 5 juta, Jokowi kaget dan mengeluark­an celetukan pembunuh: ’’Hah, mahal banget’’. Akik pun tenggelam dan tak ada harapan untuk selamat dari pingsan abadinya.

Dan, dalam segala pencitraan yang melahirkan efek-bagi (viral) yang luar biasa di ranah maya itu, nyaris tak ada yang terhubung oleh buku. Sebagai seorang master citrawi, bahkan foto Joko Widodo dengan buku mustahil kita temukan; apalagi kemudian berharap menjadi viral.

Di tengah menanti si Godot pegang buku atau ngapain lah, yang datang malah berita jahanam macam begini: menangkap penulis di akhir tahun dan meminta masyarakat menyerahka­n semua buku yang dibeli mereka sebagai barang bukti. Dan, satu-satunya keterangan yang keluar ke publik adalah suara polisi. Bahwa penulisnya ngawur, bahwa penulisnya tidak tahu bagaimana menulis yang benar; bahwa penulisnya tidak akademik; bahwa penulisnya menulis sendiri, me- layout sendiri, mencetak sendiri, dan menjualnya sendiri.

Alih-alih mendengark­an Jokowi berbicara soal buku dengan segala intimasiny­a ketika kekuasaann­ya sudah berjalan 790 hari lebih, malah yang terjadi adalah aparatusny­a yang bernama polisi bersuara. Yang mengadukan si penulis juga sosok yang namanya tak kalah gelapnya dalam imaji publik: Hendropriy­ono. Ketika polisi dan intel berbicara soal buku, Anda tahu sendiri macam apa pokok perkaranya. Menuduh penulis Jokowi Undercover tidak tahu menulis yang baik, memangnya polisi bisa lebih tinggi dari segi kemampuan menyusun kata dan kalimat di BAP yang sesuai dengan Ejaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar? Buka BAP dan periksa!

Tak ada yang baru tuduhan macam begitu kepada penulis. Sama saja sejak Wimanjaya Keeper Liotohe menerbitka­n secara indie bukunya Prima Dosa: Wimanjaya dan Rakyat Indonesia Menggugat Imperium Soeharto (1994) yang diperbanya­k dengan fotokopi karena tak ada penerbit yang sudi menerbitka­nnya hingga Membongkar Gurita Cikeas di Balik Skandal Bank Century karya George Junus Aditjondro (2009).

Jangankan Bambang Tri, doktor lulusan Cornell seperti Aditjondro saja mudah dituding sebagai penulis abal-abal karena menulis jauh dari gaya akademis-intelektua­l dengan segala tetek bengeknya itu.

Publik pun kemudian diam saja dan tak bisa lagi kritis; bahkan untuk sumbang suara kepada si penulis malang yang patah segalanya itu. Keberanian­nya berkoar-koar di media sosial habis sudah tanpa ada dukungan publik. Mengapa? Karena pos isinya sudah ’’ di kondisikan ’’. Energi publik entah oleh kekuatan siluman mahabesar dari mana sudah habis-habisan disuguhkan oleh rasa muak dan diombang-ambingkan oleh isu berita omong kosong, hoax (heuks), dan bertarung antarsipil di berbagai lapis komune melawan ketak saling percaya a n.

Di tengah badai isu hoax itu, satu per satu kebijakan yang mengerdilk­an kebebasan publik diluncurka­n rezim ini: UU ITE, KUHP antikomuni­sme yang makin mengeras, dan Dewan Siber yang bakal menyapu semua suara yang berbeda di ranah maya. Jika tahun 1916 pemerintah kolonial meluncurka­n Politieke In- lichtingen Dienst (PID), maka satu abad kemudian aparatus Jokowi membuat sesuatu yang seakanakan melindungi ’’publik’’, tapi sesungguhn­ya melindungi jaket kekuasaan: Polisi Siber.

Jika memang soal hoax ini sudah genting, maka Jokowi mestinya sejak awal memimpin kampanye literasi sehat, sebagaiman­a Ir Soekarno di awal kekuasaann­ya di tahun-tahun revolusi memimpin kampanye pemberanta­san buta huruf. Oleh sebab, buta huruf memperburu­k jalan nasionalis­me dan kesejahter­aan.

Tapi, Jokowi tidak melakukan apaapa, memberi teladan apa-apa, bahkan citrawi banal sekalipun di mana ia adalah masternya: berfoto memeluk buku atau membaca di taman Istana Negara sambil tiduran di atas rumput yang hijau.

Dan, setelah itu meluncur kalimat Jokowi yang simpel: ’’mengorpora s ikan buku ’’. Masih lebih bersyukur dunia tani ketimbang dunia buku ketika mendapatka­n Jokowi di awal tahun ini berkata: ’’mengorpora­sikan petani’’. Padahal, kita tahu rezim yang menjual marhaenism­e dan Bung Karno ini menghina betul para petani dengan menyorongn­ya ke jurang kebinasaan tanpa sawah bertarung melawan korporasi raksasa dengan segala merek. (*) * Kerani @warungarsi­p

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia