Jawa Pos

Pemerintah Perketat Ekspor Mineral

-

JAKARTA – Tenggat toleransi perintah hilirisasi industri pertambang­an mineral di Indonesia semakin dekat. Pemerintah pun memberikan kesempatan terakhir kepada perusahaan pertambang­an untuk mengekspor mineral.

Sinyal tersebut diberikan oleh Menko Kemaritima­n Luhut Binsar Pandjaitan seusai rapat tertutup dengan sejumlah menteri terkait. Keputusan resmi pemerintah akan disampaika­n seusai sidang kabinet hari ini (10/1).

Luhut mengatakan bahwa pihaknya masih membahas dasar permasalah­an yang terkait dengan kebijakan relaksasi industri mineral. Salah satunya soal kewajiban perusahaan pertambang­an pemegang izin kontrak karya (KK) untuk membangun smelter guna mengolah semua hasil tambang sebelum diekspor.

Kenyataann­ya, batas waktu lima tahun setelah penerbitan UndangUnda­ng Nomor 4 Tahun 2009 tentang Industri Mineral dan Batu Bara terlewati, tapi kewajiban itu belum tercapai. Demikian pula setelah pemerintah memberikan perpanjang­an waktu tiga tahun.

Luhut menilai keterlamba­tan itu sebagai kesalahan pemerintah sebelumnya karena memberikan relaksasi tanpa memedulika­n ketentuan undang-undang. Kesalahan tersebut harus diluruskan oleh pemerintah­an Jokowi-JK. Namun, harus ada jalan tengah yang menguntung­kan pemerintah dan pengusaha.

’’Kami tidak mau menghalang­i kegiatan dari perusahaan-perusahaan yang ada. Tapi, kami juga tidak mau regulasi dan undang-undang negara tak diacuhkan,’’ jelasnya.

Karena itu, Luhut mengisyara­tkan bakal mengakomod­asi perusahaan untuk tetap mengekspor asal berjanji membangun smelter. Sanksi tegas akan diterapkan bila perusahaan tidak memenuhi ketentuan. ”Tunggu saja keputusann­ya besok,” katanya.

Deputi Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambang­an Batu Bara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia menambahka­n, ada beberapa poin yang diharapkan pelaku usaha. Pertama, pemerintah semestinya tidak perlu khawatir untuk menerbitka­n peraturan pemerintah. ”Tetapi, pemerintah juga harus menghormat­i kesepakata­n yang ada di dalam KK,” katanya.

Kedua, syarat-syarat dalam ketentuan yang sedang dirumuskan pemerintah semestinya lebih mempertimb­angkan keberlangs­ungan pelaku usaha pertambang­an ke depan. Informasi yang berkembang menyebutka­n, izin perusahaan kontrak karya wajib berubah menjadi izin usaha pertambang­an khusus (IUPK).

Aturan tersebut semestinya perlu dikaji lebih dalam. ”Ini terlihat sangat tergesa-gesa karena pembahasan PP ini sebenarnya sangat tertutup. Seharusnya melibatkan pelaku usaha yang terdampak. Selama ini belum dilibatkan. Pernah ada rapat, tapi itu sudah berbulanbu­lan yang lalu. Setelah itu, tidak ada lagi pembicaraa­n,’’ urainya.

Hendra mengimbau pemerintah lebih bijak dalam merumuskan syarat-syarat yang tengah digodok. Dengan keputusan yang jelas tanpa mengesampi­ngkan pelaku usaha, diharapkan ada kepastian.

”Kalau izin ekspor dilarang, akan ada potensi penerimaan negara yang hilang, lapangan pekerjaan puluhan ribu orang akan hilang juga. Sebab, beberapa daerah di tanah air pembanguna­nnya sangat bergantung dengan sektor pertambang­an. Sepertinya lebih banyak mudarat daripada manfaatnya,’’ katanya. (bil/dee/c11/noe)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia