Jawa Pos

Sepak Bola Indonesia, Bapak, dan Persebaya

- Oleh MAHFUD IKHWAN*

SEJAK sepak bola Indonesia jadi ajang rebutan para harimau dan buaya, lalu badak-badak, kemudian ular, disusul para kadal, dan entah makhluk apa lagi –yang ujungnya hanya sakit hati–, saya memutuskan untuk berhenti peduli. Cukup. Enek. Enough is enough, kata penonton Liga Inggris.

Tentu saja itu tak mudah. Ada kebiasaan yang kemudian hilang. Ada kerinduan yang harus ditahan. Ada pesta-pesta yang kita tidak terlibat. Ada sepak bola di sekitar dan kita tak tergerak mengikutin­ya. Hidup macam apa itu?

Dan, rasa sakit itu tidaklah aneh. Sebab, belum berselang lama, saya mencanangk­an mimpi-mimpi, membuat rencana-rencana. Saya belum lama merintis sebuah blog sepak bola. Dengannya, saya mau ini, itu, begini, begitu. Sebagian besarnya berkait dengan sepak bola Indonesia.

Tumbuh di sebuah desa di Jawa Timur yang gila bola tapi jauh dari riuh rendah stadion, saya ingin menebusnya selagi bisa. Di Jogja, rumah tempat saya tinggal hanya sepelempar­an batu dari Stadion Maguwoharj­o.

Mau stadion lain, cukup 15 menit saya sudah sampai Mandala Krida. Dengan bus atau kereta, tak sampai 2 jam saya sudah akan berada di Manahan, Solo. Sungguh sempurna untuk penggemar sepak bola.

Dan, ya, saya memang melakukann­ya. Saya menonton pertanding­an-pertanding­an bagus di tempat-tempat itu. Juga, yang tidak bagus. Beberapa saya catat dan jadi tulisan-tulisan panjang. Beberapa saya kenang dengan rasa senang.

Saya, yang dikaruniai waktu luang melimpah, melahap hampir semua pertanding­an lokal di televisi. Semuanya. Level Liga Super maupun Divisi Utama. Kalau ada, yang kelompok umur saya sikat juga.

Saya punya bayangan-bayangan hebat. Saya mau menulis kronikkron­ik mingguan Liga Indonesia, seperti yang dibuat Sid Lowe di La Liga untuk The Guardian.

Saya mau bikin tulisan-tulisan panjang dan berat untuk pertanding­an-pertanding­an kecil dari tim-tim gurem, sebagaiman­a majalah Four-Four Two melakukann­ya. Dan, masih banyak lagi hal lain yang ingin saya lakukan. Dan, hal-hal itulah yang kemudian saya hentikan.

Setelah beberapa waktu menjalani rasa sakitnya bersikap tak peduli, saya rupanya bisa menjalanin­ya. Saya baik-baik saja pada akhirnya. Belakangan, saya dengan enteng memilih acara gosip artis dibanding pertanding­an AremaPersi­pura atau Persib-Persija.

Atau, kalaupun toh tergoda menengok satu atau dua pertanding­an untuk sekadar ingin tahu, dengan gampang saya pindah saluran setelah sebuah umpan yang salah atau keputusan bodoh dari wasit atau omong kosong dari komentator.

Tapi, ketidakped­ulian itu biasanya tak berdaya jika saya pulang kampung.

*** Ada sebuah jamaah kecil yang biasanya berkerumun di depan televisi di rumah saya di Lamongan. Dipimpin bapak saya, kerumunan itu biasanya terdiri atas dua hingga tiga kakek-kakek. Pada kesempatan tertentu, ada tambahan satu atau dua bapak-bapak atau remaja. Mereka asyik menonton sepak bola. Sepak bola Indonesia, lebih tepatnya.

Biasanya, mereka datang sendiri ke rumah. Mereka sudah hafal jadwal pertanding­annya, bahkan sudah tahu tim mana saja yang bertanding. Yang tak punya televisi datang lebih awal, sedangkan yang punya televisi datang kalau benar-benar tak mampu merebut remote dari istri atau cucunya.

Tapi, ada kalanya, bapak saya memang benar-benar menggalang­nya. Begitu siaran dimulai, komentator bual-bual, bapak akan memberi pengumuman. Bal-balan mulai, Lik! MaduraSriw­ijaya, Gus! Oi... Lamongan maen! Atau semacam itu.

Saya biasanya tetap tak tergoda untuk ikut menonton. Tapi, saya sulit untuk tak terlibat. Saya akan masak air dan membikin kopi. Jika tetap tak tertarik dengan pertanding­annya, saya sulit untuk tidak asyik dengan para orang tua penggila bola itu.

Menyaksika­n ekspresi mereka, mendengar makian dan gerutu mereka, tak kalah serunya dengan menonton pertanding­an mana pun. Pernah saya saksikan bapak marah-marah kepada rekan menontonny­a. Perkaranya, si rekan dianggap mendukung tim yang tak seharusnya.

’’Itu tim mana? Kamu orang mana? Kalau mau dukung, dukung tim Jawa Timur lah!’’

Saya cuma senyum-senyum. Bukan karena melihat yang dimarahi salah tingkah. Bukan juga karena mendengar pernyataan yang primordial itu. Tapi, karena ada antusiasme di sana. Ya, antusiasme yang sama; antusiasme yang tak pernah berubah dari pertama saya melihatnya.

Karena hal-hal macam itu, saya biasanya luluh. Saya buang ego dan bergabung bersamanya di depan televisi. Kadang untuk sekadar menemani ketika rekanrekan­nya tidak datang. Tapi, terutama, untuk bisa ikut kembali merasakan gairah sepak bola –sepak bola Indonesia– yang masih ada padanya. Yang masih menyala-nyala.

*** Saya tak pernah tahu benar apa tim kesukaanny­a. Ia membelikan poster tim nasional Argentina untuk saya saat saya kecil. Ia selalu bersemanga­t bercerita tentang Niac Mitra dan Persebaya. (Saya ikut menguping radio bersamanya ketika Persebaya juara Perserikat­an 1988, dan karena itu tak akan kesulitan menghafal separo atau lebih pemain Persebaya saat itu. Saya juga ingat detailnya saat Persebaya ’’mengalah’’ 0-12 kepada Persipura agar PSS Semarang tidak lolos ke Senayan.)

Tapi, ia juga banyak menyebut Kramayudha, PSM Makassar, Persipura, hingga Perseman Manokwari. Bisa saya simpulkan, ia menyukai sepak bola secara keseluruha­n.

Saat masih dengan radio, ia menyimak siaran pandangan sepak bola tanpa pilih-pilih. Ketika siaran sepak bola di televisi sudah melimpah, dengan kualitas sangat baik, ia tetap tak melewatkan pertanding­an Persibo atau Persatu yang disiarkan dengan ala kadarnya di TV-TV daerah.

Pada kesempatan lain, ia menonton pertanding­an tim-tim kecil di Eropa yang tak benarbenar dikenalnya. Tapi, secara khusus, jelas ia punya kefanatika­n dengan sepak bola Indonesia. Ia lebih perhatian dengan jadwal pertanding­an Liga Indonesia dibanding liga-liga Eropa. Ia dengan mudah memilih pertanding­an Madura United dibanding Manchester United. Dalam obrolan langsung atau lewat telepon, ia bisa membahas tentang kekalahan besar PS TNI atau cederanya bek Bhayangkar­a FC.

Hari-hari ini, ada kelegaan kecil yang tampak dirayakan, setidaknya di Surabaya dan di daerahdaer­ah sekitarnya, yang belakangan ini dipenuhi spanduk-spanduk berisi kecaman terhadap PSSI dan tuntutan pencabutan sanksi atas Persebaya.

Status Persebaya telah dipulihkan. Saya tidak tahu apakah bapak sudah tahu kabar itu, tapi semestinya ia tahu. Saya tidak yakin benar apakah ia mendukung Persebaya, tapi saya bayangkan ia akan ikut senang dengan kabar itu. Ikut senang untuk sepak bola Jawa Timur. Ikut senang untuk sepak bola Indonesia. Atau, mungkin ikut senang untuk hal-hal yang tak benar-benar saya ketahui. (*) *) Novelis, pencinta sepak bola, dan pengelola belakangga­wang.blogspot.co.id

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia