Jadikan Kisah Joseph Schooling sebagai Inspirasi Atlet Asia
Berbincang dengan Edgar K. Tham, Pakar Sport Psychology Singapura
SportPsych Consulting merupakan metode untuk mendongkrak mental bertanding atlet. Edgar K. Tham, pakar sport psychology Singapura, membagi pengalamannya.
PERAIH emas Olimpiade asal Singapura Joseph Schooling pernah hampir membuang impiannya menjadi perenang. Itu terjadi ketika dia tengah bersiap menjalani pertandingan penyisihan Olimpiade London 2012 silam.
Saat itu, swimming cap (topi renang) dan kacamata renang Schooling ditolak karena tidak sesuai dengan regulasi. Dia pun harus membuang impiannya menjalani debut karena finis di posisi ke-26 dengan catatan waktu 1 jam, 59 menit, 18 detik.
Saat itu, langkah Schooling muda yang tengah gontai diketahui perenang terhebat dalam sejarah Olimpiade, Michael Phelps. Kebetulan, keduanya bertemu pada 2008 di Singapura, saat Schooling masih berusia 13 tahun.
Kepada Phelps, Schooling menceritakan persoalannya. Tak disangka, peraih 23 emas Olimpiade tersebut langsung memeluk Schooling.
’’Dia memberi tahu aku bahwa langkahku masih sangat panjang karena aku masih muda,’’ ungkap Schooling. ’’Ini bakal menjadi pengalaman. Dia mengatakan agar aku menghadapinya dengan kepala tegak dan maju terus,’’ lanjutnya.
Empat tahun berselang, di Rio de Janeiro, Phelps, sosok yang begitu dikagumi Schooling, harus melihat Schooling berada di depannya pada nomor 100 meter gaya kupu-kupu dengan catatan 50,39 detik. Phelps harus puas mendapat perak dengan selisih 0,75 detik (51,14).
Itulah sekelumit cerita yang dipaparkan pakar sport psychology dari Singapura Edgar K. Tham ketika berkunjung ke redaksi Jawa Pos tadi malam (9/1). Edgar ditemani dua asistennya, Jia Wen dan Michelle Kong.
Kunjungan Edgar ke redaksi merupakan bagian dari upaya memperkenalkan metode SportPsych Consulting. Metode tersebut bisa membantu atlet mendapatkan performa terbaik meski berada di tengah kondisi under pressure.
Edgar, yang bekerja dengan SNOC (Komite Olimpiade Singapura) sejak 1993, menyatakan, pencapaian Schooling saat Olimpiade tahun lalu menjadi contoh penting psikologi olahraga. Dia menjelaskan, Schooling tidak takut ketika harus berkompetisi dengan Phelps. ’’Malah, dia menjadikan Phelps sebagai role model,’’ tuturnya.
Seluruh latihannya hanya untuk satu hal: mengalahkan sang idola. Bahkan, ketika akhirnya tujuan itu tercapai, Schooling dengan santai berbincang dengan perenang 31 tahun tersebut layaknya teman lama.
’’Schooling tidak menunjukkan rasa takut meski Phelps adalah perenang terhebat dunia,’’ ujar Edgar. Mentalitas itulah yang tidak dimiliki kalangan atlet di Asia. Sebab, mereka masih menganggap atlet Barat, terutama Amerika Serikat, begitu superior.
Itulah yang berusaha dibongkar Edgar via metodenya. Metode tersebut bertujuan membuat atlet tidak hanya fokus mencapai goal latihannya. Namun, mereka juga tetap percaya diri dan memiliki pikiran positif ketika menghadapi lawan yang lebih besar. Baik kemampuan maupun reputasinya. ’’Kami berusaha mencari cara termudah dalam memperkuat mental para atlet lewat sains,’’ paparnya.
Pria yang pernah menjadi pelatih canoeing dan perahu naga di Singapura itu melanjutkan, pelatihan sport psychology kepada atlet untuk meningkatkan performa setidaknya membutuhkan waktu setahun. ’’Bergantung cabang olahraga dan level kompetisinya,’’ katanya.
Namun, Edgar melanjutkan, pelatihan itu tidak akan berarti jika si atlet tidak menerapkan metodenya. Selain itu, pelatih tidak memberikan latihan yang gampang ditebak. ’’Seharusnya, pelatih bisa melakukan variasi dengan setidaknya ada satu sesi di mana atlet dituntut push to the best,’’ jelasnya. (apu/c5/tom)