Jawa Pos

Festival Kuwung

- Oleh RHENALD KASALI

AKHIR 2016 saya diundang ke Banyuwangi oleh Abdullah Azwar Anas, bupati yang gesit, cerdas, dan tak ada lelahnya. Saya diajak menyaksika­n Festival Kuwung Banyuwangi yang digelar di pendapa kabupaten.

Festival Kuwung atau Pelangi menampilka­n adat istiadat dan kesenian berbagai ragam etnis yang ada di Banyuwangi. Mulai kesenian Hindu Bali, suku Osing, etnis Tionghoa, Madura, Mandar, Mataraman, hingga kesenianke­senian yang datang dari berbagai daerah di Indonesia lainnya

Untuk memasarkan Banyuwangi, Anas mengaku menciptaka­n 53 festival setahun. Malam itu saya dan para undangan sangat menikmatin­ya. Menyaksika­n aneka kebudayaan dan seni pertunjuka­n asli Banyuwangi yang indah.

Jadi, setiap minggu praktis ada festival yang membuat wisatawan selalu ingin datang. Kini di setiap desa anak-anak dan kaum muda aktif berlatih seni pertunjuka­n. Belum lagi para aparatur sipil negara yang tak henti-hentinya melakukan studi banding. Maklum, Banyuwangi adalah contoh penerapan disruptive government yang tangkas.

Kini rata-rata turis membelanja­kan Rp 2 juta per hari per orang. Sehingga secara total sektor pariwisata Banyuwangi mampu menyumbang devisa senilai lebih dari Rp 50 miliar per tahun.

Bahkan, beberapa event dibuat aktivis-aktivis olahraga dunia. Misalnya balap sepeda internasio­nal Tour de Banyuwangi Ijen, yang melewati alam pedesaan Maron, Kecamatan Genteng, Benculuk, lalu ke Sumber Buluh dan Rogojampi. Selain pesertanya dari mancanegar­a, banyak lembaga dunia yang ikut berpartisi­pasi dan menjadi sponsor.

Bupati membisiki saya bahwa mereka praktis tak keluar uang banyak. Bahkan bisa mendatangk­an rezeki untuk masyarakat. Ini berbeda dengan Tour de Flores yang baru dimulai dan harus menghabisk­an puluhan miliar rupiah uang pemerintah daerah serta sponsor lokal.

Terlalu banyak yang bisa dilihat di Banyuwangi. Ini tentu berbeda dengan Danau Toba yang masih ”disusui” pemerintah pusat. Presiden berkali-kali datang ke Danau Toba untuk membuka daerah itu, memimpin Festival Danau Toba agar kembali menjadi tujuan wisata. Padahal, di area sekitar Danau Toba terdapat delapan kabupaten dengan adat dan atraksi budaya yang sangat beragam. Hanya, pada tahap ini, masih terlalu sedikit event yang bisa ”dijual” Danau Toba. Juga belum terlalu solid para bupati bekerja sama.

Festival marketing atau pemasaran wisata melalui festival, kalau dikelola dengan baik, dapat menjadi motor pemacu pariwisata. Tentu tak perlu seminggu sekali. Satu saja event besar yang mendunia bisa mendatangk­an turis tiada henti selama setahun. Sebut saja Darjeeling Tea Festival di Pegunungan Himalaya, Kala Ghoda Arts Festival (Mumbai), Onam Festival (Kerala, India), Pushkar Mela (Rajasthan), Octoberfes­t (Muenchen, Jerman), Rio Carnival (Brasil), Melbourne Comedy, New York Fashion Week, Glastonbur­y (Inggris), Mardi Gras (New Orleans, AS), Cosplay (Kanto, Jepang), dan banyak lagi.

Di Rio bahkan festival yang mendunia itu bisa mendatangk­an 2 juta turis. Tapi, jangan salah, festival pertama di kota pantai itu sudah digelar sejak 1723. Dan, karena pengunjung­nya banyak, tarif hotel serta restoran menjadi sangat mahal.

Disruptive Government Namun, tentu saja tak ada yang salah kalaupun kita memulai perubahan dengan strategi internatio­nal intensive festival. Festival yang berulang-ulang bisa melatih semua pihak, ya artis-artis lokal, pemerintah desa, masyarakat, sampai pemerintah kabupaten. Dalam hal apa? Ini tentu bukan sekadar semi pertunjuka­n, tapi membangun kapasitas birokrasi dalam merespons.

Jangan lupa, kita hidup dalam era disruption. Perubahan yang dipicu teknologi digital membuat manusia mampu berkolabor­asi sehingga membuat marginal cost rendah, tarif pelanconga­n lebih terjangkau, dan segmen baru yang selama ini terabaikan kini masuk sebagai pasar.

Muncul business model baru yang membuat incumbents menjadi irrelevant, menjadi obsolete. Dunia pariwisata dituntut mengeksplo­rasi cara-cara baru. Dan untuk itu kita membutuhka­n disruptive government.

Saya ceritakan sedikit kepada Anda soal Banyuwangi yang sudah lebih dulu mengadopsi disruptive government dengan digitalisa­si pelayanan. Hal ini agar Anda mudah memahami dan apa hubunganny­a dengan disruptive marketing. Banyuwangi sudah menjadi salah satu kabupaten paling terintegra­si di dunia maya. Dalam SKPD-nya saja, 61 badan, 24 kecamatan, 28 kelurahan, dan 188 desa sudah terintegra­si sistem informasin­ya.

Rapat-rapat pemkab bisa diadakan melalui grup WhatsApp. Beberapa program pun tercatat sebagai salah satu pionir di Indonesia seperti SIM perizinan, SMS gateway, LPPD, serta e-filling dan budgeting. Ada juga program Smart Kampung yang menghubung­kan desa-desa dengan internet. Ini tentang bagaimana membuka akses dari masyarakat desa pada dunia yang luas.

Pertanyaan­nya, apakah hal itu sudah dilakukan para bupati lain yang tengah memasarkan pariwisata? Harap diingat, ekonomi pariwisata itu banyak pekerjaan rumahnya. Mulai fasilitas umum, informasi, kesehatan, pangan, kebersihan, petunjuk jalan, sampai urusan transporta­si dan ke- amanan. Tanpa smart government yang baik, sulit rasanya mengintegr­asikan dan menjamin masa depannya. Festival yang didorong dari atas saja tidak cukup.

Maksud saya, untuk menjamin keamanan dan kenyamanan wisatawan, juga untuk menjaga agar para pelancong mau ikut memublikas­ikan destinasi wisata yang dikunjungi­nya, dibutuhkan dukungan infrastruk­tur yang memadai, akses internet yang kuat, dan pemerintah­an yang gesit.

Disruptive Bureaucrac­y Akhirnya, kita butuh birokrasi yang tangkas, transparan, dan direct. Di Pendapa Kabupaten Banyuwangi saya disuguhi sebuah ruang pelayanan, lengkap dengan beberapa layar komputer. Di situ saya bisa dengan mudah mengunduh informasi tentang potensi lokal dan program.

Bupati Anas menggunaka­n teknologi digital dan event yang akrab dengan rakyat untuk membentuk budaya birokrasi baru. Event yang padat itu mampu melancarka­n myelin dalam birokrasi, mendorong partisipas­i ekonomi rakyat, serta sekaligus membentuk engagement antara pemkab dan rakyatnya. Kalau sudah berjalan lancar begini, tentu saja pemerintah pusat tidak perlu terlalu sering hadir.

Ruangannya dibuat seperti VIP lounge bandara. Yang dilengkapi kopi, snack lokal, dan tentu saja wifi plus sofa. Kalau sudah terbuka dan nyaman seperti itu, pemerintah bisa tidur nyenyak karena sistem tersebut bekerja 24 jam. Memang betul, disruptive marketing tak bisa lepas dari disruptive bureaucrac­y, dan disruptive bureaucrac­y menuntut cara berpikir baru: disruptive mindset. (*)

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia