Jawa Pos

Melawan Racun Kebencian Trump

-

SENATOR Chuck Schumer, ketua kelompok minoritas di Senat Amerika Serikat (AS), menangis dalam konferensi pers. Dia berjanji untuk melawan dan membatalka­n keputusan Presiden Donald Trump melarang masuk warga dari tujuh negara mayoritas muslim. Yakni, Iran, Iraq, Syria, Yaman, Sudan, Libya, dan Somalia. Ditandatan­gani pada Jumat (27/1) dan diimplemen­tasikan pada Sabtu (28/1), aturan yang tidak terperinci itu menimbulka­n kekacauan di beberapa bandara Amerika

Khususnya di New York. Ratusan pendatang dari negara-negara itu, termasuk mereka yang telah memiliki visa masuk ( entry visa) ke AS dan menjadi penduduk tetap ( permanent resident) atau pemegang kartu hijau, tertahan di bandara.

Pada saat yang sama ACLU, organisasi pembela hak-hak sipil, mengajukan tuntutan di Pengadilan Tinggi New York untuk membatalka­n penahanan itu. Pengadilan memutuskan untuk memberikan izin masuk bagi pendatang yang tertahan di Bandara John F. Kennedy. Putusan tersebut disambut dengan gegap gempita para demonstran.

Meski tidak diakui Presiden Trump, dipahami secara luas dan nyata oleh banyak kalangan bahwa keputusan tersebut diskrimina­tif dan anti-Islam. Diskrimina­si karena dari sekian warga negara yang pernah terlibat aktivitas teror di Amerika, Afghanista­n dan Pakistan tidak masuk list. Bahkan, negara yang paling berbahaya bagi Amerika saat ini karena kemampuan mengembang­kan senjata nuklir dengan jangkauan jarak jauh, Korea Utara, juga tidak masuk ke dalam daftar yang terlarang.

Kita ingat juga bahwa pelaku mayoritas serangan 9/11 pada 2001 adalah warga Arab Saudi. Tapi, kenyataann­ya, Saudi tak masuk list yang dilarang masuk ke Amerika. Ada yang mengira bahwa keputusan diskrimina­tif itu didasari kepentinga­n pribadi Trump. Negara-negara yang tidak masuk list, termasuk Saudi dan Mesir, memang punya hubungan bisnis.

Keputusan itu juga jelas antiIslam. Bahkan, Trump berjanji memperluas larangan tersebut tanpa penjelasan terperinci. Boleh jadi akan ada larangan bagi seluruh muslim untuk masuk Amerika.

Apa implikasi dari keputusan itu? Yang paling saya khawatirka­n, kebijakan Trump itu dijadikan justifikas­i bagi pihak-pihak yang memang selama ini mencari-cari pembenaran dalam berbagai aksi teror. ISIS di Iraq dan Syria, Al Qaeda di Yaman, serta Al Shabab di Somalia. Mereka akan kembali gencar mencari target di berbagai tempat yang dianggap memiliki relasi kepentinga­n dengan Amerika.

Juga, jika itu terjadi, Trump kemudian akan semakin mendapatka­n pula justifikas­i untuk membumihan­guskan semua pergerakan Islam di belahan dunia. Trump tampaknya akan membangun koalisi dengan Presiden Rusia Vladimir Putin untuk menghabisk­an apa yang disebutnya sebagai kelompok-kelom- pok Islam radikal.

Hal itu akan merambah ke kebijakan domestik (dalam negeri). Sudah pasti masyarakat muslim akan menghadapi berbagai tekanan, bahkan perlakuan yang buruk. Seperti yang disuarakan Trump saat kampanye. Di antaranya, mengeluark­an ID khusus bagi masyarakat muslim dan menutup masjid-masjid radikal.

Saya khawatir racun kebencian yang ditebarkan oleh retorika kampanye Trump semakin menyebar di masyarakat luas. Lebih berbahaya lagi jika mereka yang selama ini benci terhadap Islam dan masyarakat muslim merasa telah mendapatka­n justifikas­i sistem. Artinya, kebencian itu bukan lagi ”kasus-kasus” di masyarakat. Tapi dianggap bagian sistem kenegaraan Amerika. Itu akan sangat runyam.

Lalu, apa yang harus dilakukan? Kami tidak pernah merasa bahwa apa yang terjadi saat ini di Amerika akan menghentik­an upaya kami mengenalka­n Islam dan membangun komunitas Islam yang lebih solid. Bagi masyarakat muslim Amerika, salah satu kontribusi terpenting kami adalah membangun komunitas yang solid sebagai bagian dari upaya kami membawa kebaikan kepada negara ini.

Masyarakat muslim Amerika juga akan terus membangun koalisi dengan pihak-pihak yang punya kepentinga­n yang sama. Sungguh, terpilihny­a Trump menjadi momok tersendiri bagi banyak pihak. Masyarakat muslim, African, Hispanik, Asia, LGBT, bahkan Yahudi. Masyarakat muslim harus mampu membangun koalisi dengan mereka untuk meredam dampak negatif terpilihny­a Trump.

Saat ini pemerintah-pemerintah mayoritas muslim sedang diuji. Jika Trump dengan terang-terangan menyudutka­n komunitas muslim, baik dalam negeri maupun luar negeri, apakah pemerintah­an muslim hanya mengambil sikap ” nggak peduli” dan diam?

Tentu yang paling parah dan menyakitka­n adalah ketika ada pihak-pihak dalam pemerintah­an negara mayoritas muslim yang justru memuji Trump. Bahkan dengan bangga ingin membangun kerja sama bisnis. Atau, boleh jadi ke depan akan bekerja sama memerangi pergerakan Islam?

Sikap pihak-pihak tertentu yang seperti itu tidak saja menyinggun­g perasaan umat Islam di negara tersebut. Tapi juga masyarakat muslim dunia, khususnya di Amerika. (*)

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia