Menghadapi Trumpisme
SEKITAR 40 ribu warga negara Indonesia (WNI) di Amerika Serikat (AS) tiba-tiba masuk lampu sorot. Kebijakan tidak bijak Presiden Donald Trump tentang pembatasan imigran dari tujuh negara mayoritas muslim mau tak mau berefek ke mereka. Jangan-jangan status mayoritas muslim Indonesia turut mengganggu ketenangan mereka di sana.
Sejauh ini perwakilan RI di sana disebut sudah membuka layanan online 24 jam kalau mereka butuh bantuan. Baik juga kalau RI menyatakan ketidaksukaan pada perintah eksekutif Trump, sebagaimana yang dilakukan beberapa negara Eropa. Tak perlu gentar mengecam atau menyesalkan langkah diskriminatif ala Trumpisme itu.
Di Amerika sendiri protes cukup masif, termasuk dari 16 jaksa agung negara bagian. Perusahaan raksasa seperti Google yang mempekerjakan imigran juga resah berat. Bagaimanapun, langkah Trump itu dianggap menggoyahkan kekuatan AS yang berfondasi sebagai negeri para imigran. Donald Trump sendiri keturunan Friedrich Trump yang beremigrasi dari Kallstadt, Pfalz, Jerman, pada 1885. Kakek Trump itu hijrah ke AS untuk mencari penghidupan lebih baik. Kini cucunya (setelah berkuasa) malah membangun tembok fisik dan aturan untuk imigran.
Untuk Indonesia, perintah eksekutif Trump memang belum mengusik. Tapi, merebak kritik bahwa negara-negara yang jadi lokasi jaringan bisnis Trump tidak termasuk dalam larangan imigrasi, meski juga punya problem terorisme. Di Indonesia,Trump memiliki beberapa bidang bisnis. Melihat karakter Trump yang tak mau mengalah, bisa-bisa itu malah dijadikan pemicu untuk memperluas negara terlarang imigrasi. Jadi, harus tetap waspada. Kita dan banyak warga dunia sudah punya pengalaman pahit terimbas pengetatan masuk AS selama apa yang disebut ”perang antiteror” rezim Bush.
Kita memang sulit melepas hubungan dengan AS. Selain urusan dagang dan bisnis, selama ini banyak WNI yang mentransfer ilmu pengetahuan lewat kuliah di banyak perguruan tinggi di sana. Indonesia pun banyak menikmati, bahkan kecanduan, gaya hidup Amerika. Mulai soal musik, film, makanan, mode pakaian, bahasa, hingga teknologi. Melihat kuatnya pengaruh tersebut, sulit kita meneriakkan kecaman Bung Karno: Go to hell, America.
Tetapi, kita tak bisa mengabaikan perkembangan negatif ini. Kalau proteksionisme membentengi Amerika, kita mesti mencari jalan alternatif. Selama Trump berkuasa, tak usah terlalu banyak berharap AS menebar banyak manfaat. Apalagi, setelah ini Trump bisa jadi memenuhi retorika kampanyenya yang lain: pemulangan besar-besaran imigran ilegal. Itu bisa merundung banyak WNI di sana.
Mari serius berpikir bahwa pusat dunia bukan cuma Amerika. Apalagi, Trumpisme ingin Amerika hanya untuk orang Amerika.