Jawa Pos

Lisensi Global Rebut Pasar Lokal

Krisis moneter pada 1997–1998 justru menjadi momen kelahiran Technoplas­t. Samsu Fajar Indra, pendiri PT Trisinar Indopratam­a, perusahaan pemegang merek Technoplas­t, malah berbelanja mesin. Kini perusahaan itu kian bersinar. Berikut petikan wawancara denga

-

Bagaimana Technoplas­t bermula?

Technoplas­t itu brand. Nama perusahaan­nya PT Trisinar Indopratam­a. Perusahaan tersebut awalnya 100 persen trading company. Eksporter produk pecah belah untuk rumah tangga. Saya memulainya sejak lulus kuliah, tepatnya pada 1995. Saya mulai bersama adik saya, Samsu Tahar.

Produk yang diekspor apa saja?

Warehouse product. Piring, gelas, panci, dan barang pecah belah kebutuhan rumah tangga. Waktu itu kami melihat banyak peluang untuk masuk ke negara lain. Mayoritas Middle East. Pada 1997–1998, kami sudah ekspor ke 30 negara. Kami mulainya berdua saja. Tanpa karyawan. Kantornya berada di rumah. Waktu itu cukup sulit. Belum ada internet. Belum ada e-mail. Mengandalk­an faks.

Merek dagang Technoplas­t sejak kapan?

Awalnya, memang tidak ada niat. Tapi, pada 1998 terjadi krisis moneter. Nilai tukar turun tajam. Banyak perusahaan, katakanlah, Jawa Pos yang kolaps ya. Bunga kredit bank melonjak sampai 40 persen. Natural selection, banyak perusahaan yang tutup.

Perusahaan ikut kena imbas?

Justru tidak. Saya kan eksporter. Saya ma lah bisa dapat barang murah dari supplier di Indonesia, lalu jual ke luar negeri pakai dolar (USD). Untungnya sangat besar. Nah, waktu itu ada perusahaan cukup besar, yakni Aiwa. Pabriknya di Sukabumi juga tutup. Mereka jual mesin dan akhirnya saya beli. Saya dapat delapan unit mesin. Berapa harganya? Murah banget lah. Sebenarnya susah menentukan harga wajar. Waktu itu kan transisi. Beli misalnya USD 100, tapi waktu beli kurs masih Rp 2.000 per USD. Tiba-tiba, kursnya sudah mencapai Rp 10.000. Di nilai buku mereka sudah terdepresi­asi banyak sekali. Katakanlah delapan mesin bekas itu saya beli Rp 100 juta. Padahal, misalnya beli baru, uang Rp 1 miliar saja tidak cukup. Lagi pula, kalau beli mesin baru, tidak terbeli. Sebab, waktu itu devaluasi kan.

Langsung berubah jadi produsen?

Tidak. Setelah saya beli, mesinnya disimpan di gudang sekitar 1,5 tahun. Tapi, saya sering jalanjalan keliling. Kami mulai melakukan produksi gara-gara banyak home industry di Indonesia, tidak ada marketing, tidak ada strategi sales, punya mesin dua unit, jalankan sendiri, tapi bisa survive. Saya berpikir kok malah sekadar jadi penjual. Akhirnya, kami mulai jalan dan mengusung merek dagang Technoplas­t.

Bagaimana hasilnya dengan langkah instan seperti itu?

Sulit. Ekspor memang lancar karena kita sudah punya pasar. Tapi, justru hampir tidak bisa penetrasi market lokal. Mental (terpental) terus. Terutama ke pasar modern. Kenapa? Sebab, kami adalah pemain baru. Sudah ada pemain existing. Cukup lama kita sulit masuk pasar negara sendiri.

Solusinya pakai lisensi tokoh karakter global?

Pada 2004, terpikir mulai beli lisensi. Di luar negeri, sebenarnya sudah banyak yang melakukan itu saat itu. Tapi, market di kita biasanya memang ketinggala­n. Kebetulan, ada teman yang bantu perkenalka­n kami ke agen pemegang lisensi tersebut. Paling pertama kami beli lisensi Looney Tunes dan Hello Kitty. Hasilnya? Positif. Kami mulai diterima ritel modern. Kami adalah pionir di produk warehouse berlisensi, terutama untuk produk anakanak. Sampai sekarang, sudah banyak lisensi yang kami beli. Ada 75 lisensi dari luar negeri. Tokoh dari Marvel, Minions, Disney, Batman dan Superman, Doraemon, Pokemon, Barbie, Liverpool FC, Barcelona FC, serta Star Wars. Lokalnya ada Bima Sakti. Total, terdapat 1.000 item produk Technoplas­t, sekitar 70 persen untuk produk anakanak berlisensi. Sisanya adalah barang rumah tangga generik tanpa lisensi.

Seperti apa persaingan produk seperti itu di Indonesia?

Awalnya cukup ketat. Tapi, sekarang kami menjadi market

(untuk produk berlisensi). Yang terpenting adalah melindungi lokal. Banyak pemain asing yang sudah masuk ke kita. Yang berlisensi juga banyak. Tapi, harganya tiga kali lebih mahal. Persaingan di pasar global? Di pasar global, kami justru tidak main lisensi. Produk generik saja. Tapi, memang sekarang setiap negara itu protektif. Produk ekspor makin susah masuk. Karena itu, kami berencana membuat remote factory, bikin (perusahaan) patungan sama pihak lokal. Sudah ada empat negara yang sudah pendalaman; Turki, Filipina, Dubai, dan Lebanon. Modalnya? Kami sih memang mempertimb­angkan IPO (penawaran saham ke publik). Ya, kita lihat kapan kemungkina­n waktunya yang tepat. Kami di dalam negeri tetap memperkuat, tapi fokus ekspansi lebih banyak bikin remote factory untuk jaga market. (*/c14/sof)

 ??  ?? leader market
leader market

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia