Klub Besar Tak Pernah Mati
SETIAP kota besar di dunia menghasilkan klub sepak bola besar. Buenos Aires punya River Plate dan Boca Juniors. Madrid melahirkan Real dan Atletico. Di Glasgow, ada Celtic dan Rangers. Zamalek muncul di Kairo. Dan, di Surabaya, kita punya Persebaya.
Selama jantung kota-kota itu berdetak, klub-klub sepak bola legendaris itu tak pernah mati. Mereka sekali-dua akan terdegradasi atau pailit. Entah karena kering talenta, nasib buruk, atau salah urus.
Di antaranya, ada yang harus menderita karena berlaga di kompetisi tingkat tiga atau lima. Dan, berangsur-angsur kehilangan dukungan suporternya yang setia serta sumber daya.
River Plate yang terdegradasi dan terlilit utang membuat setengah Kota Buenos Aires tenggelam dalam duka dan kerusuhan. Red Star hancur lebur ketika Semenanjung Balkan mengalami perang saudara. Dynamo Kiev pernah bubar di bawah kekuasaan Stalin pada era perang dingin.
Namun, seperti burung phoenix, klub-klub besar yang jadi abu itu akan hidup kembali. Mereka tak pernah benar-benar mati. Pendukung yang ngambek akan memulihkan rasa sayangnya. Bakat-bakat baru bermunculan di penjuru kota. Gema nyanyian pujian di stadion akan kembali terdengar.
Pendeknya, penduduk sebuah kota tak akan rela klub sepak bolanya mati membusuk. Sebab, klub sepak bola bukan sekadar organisasi yang mencetak karcis masuk stadion atau mengatur kontrak kerja tim pelatih dan 25 pemain. Klub sepak bola –entah di Barcelona atau Salatiga– tak pernah sekadar klub.
Klub legenda adalah institusi kultural yang mewakili sejarah sebuah kota. Barcelona mewakili sejarah sosial kota pelabuhan dan pedagang cerdik Mediterania. Celtic mewakili sejarah penderitaan orang-orang Katolik di daratan Britania Raya.
Itulah mengapa setiap klub besar selalu unik. Ia tumbuh berimpit dengan riwayat kota tempat ia lahir. Di Italia, Juventus atau Milan dikelola perusahaan mobil yang memonopoli suku cadang atau baron televisi yang memanipulasi opini, sedangkan klub di Selatan (Palermo, Cagliari) dijalankan seperti kelompok mafia yang beroperasi atau bangsawan feodal abad pertengahan yang menarik upeti.
Tiap klub besar juga dibentuk peristiwa sejarah yang memunculkan karakter kota itu sendiri. Di Indonesia, karakter keras dan ega- liter Kota Medan menghasilkan PSMS yang bermain lugas dan keras, sedangkan Kota Padang menghasilkan tim Semen yang selalu bermain dengan akal sehat. Baik dalam neraca anggaran maupun permainan di lapangan.
Pendek kata, setiap klub besar tak bisa dipisahkan dari sejarah kota dan penduduk kotanya. Agar dicintai dan mendapat dukungan besar, klub membutuhkan waktu panjang serta mesti berenang di sungai sejarah yang juga dilintasi dan diminum penduduknya.
Itulah mengapa klub-klub yang hanya digenjot dengan menggunakan kucuran uang instan dan mengabaikan sejarah kota selalu dicemooh. RB Leipzig sering mendapat makian di Jerman. Di Inggris, Chelsea, paling tidak pada tahun-tahun awal Abramovich, selalu menjadi bahan gunjingan.
Klub-klub yang digenjot dana instan itu tak akan pernah memenangkan hati penduduk kota. Valencia yang dibeli dan dijalankan pengusaha Singapura lewat peran- tara broker besar dari Portugal selalu disoraki, bahkan oleh pendukung setianya. Di Indonesia, klub konglomerat seperti Pelita Jaya selalu berpindah-pindah stadion dan tak mendapatkan rasa sayang dari kotakota yang disinggahinya.
Sebaliknya, setiap klub besar yang merupakan kebanggaan sebuah kota akan selalu hidup. Jika mereka mati suri, akan selalu ada tangan-tangan tak terlihat di kota tersebut yang berusaha membangkitkannya.
Kebangkitan Persebaya harus dilihat dari sejarah panjang kotanya. Saya yakin Persebaya sekarang siuman karena perjuangan tak kenal lelah berbagai pihak, termasuk Bonek.
Surabaya adalah kota dengan jiwa sepak bola yang dahsyat. Surabaya merupakan kota yang menghasilkan Syamsul Arifin, Bejo Sugiantoro, serta sekarang Evan Dimas dan Andik Vermansah. Surabaya adalah kota dengan jiwa sepak bola. Selamat bangkit kembali Persebaya! Klub besar tak pernah mati. (*)