Trauma Tulisan yang Dirampas Aparat
Melihat rekam jejaknya, Oei Hiem Hwie memang termasuk manusia langka. Pengalaman hidupnya komplet. Dia menjadi saksi sekaligus pelaku sejarah peristiwa besar di negeri ini. Kisah hidupnya layak dibukukan.
RIBUAN buku berjejer rapi di rakrak yang sudah renta itu. Media massa cetak berupa koran dan majalah juga mengisi lorong-lorong rak. Di ujung salah satu rak, dipajang piagam penghargaan dari Museum Rekor Dunia Indonesia (Muri). Piagam yang dibingkai dengan pigura berwarna emas itu menerangkan bahwa Hwie (baca: Wi), panggilan akrabnya, merupakan kolektor surat kabar terlengkap sejak awal terbit.
Di usianya yang menginjak 80 tahun, dia terlihat masih begitu bersemangat. Tak terhitung berapa banyak buku yang telah masuk dalam koleksinya. Tapi, gara-gara geger 1965, sebagian besar bukunya dibakar. Pemerintah mencurigai Hwie dekat dengan partai komunis lantaran dia memang beberapa kali menulis tentang partai itu.
Hidup Hwie memang tidak pernah jauh dari buku. Perpustakaan Medayu Agung menjadi salah satu tempat wajib menghabiskan masa senjanya
Lebih dari 7.000 buku dan arsip koran tersimpan di perpustakaan yang terletak di Jl Medayu Selatan IV/42-44 tersebut. Beberapa koleksi naskah-naskah langka juga dipajang di etalase berukuran sekitar 1 x 1 meter. ’’Buku itu sudah jadi bagian hidup saya,” ujar Hwie yang membuka pembicaraan.
Dia mengumpulkan buku-buku tersebut sejak kecil. Mayoritas bertema sosial-politik. Ada yang berbahasa Indonesia, Mandarin, hingga Belanda. Beberapa buku merupakan peninggalan kakeknya. ’’Kalau saja tidak dibakar oleh aparat, mungkin lebih banyak lagi,” kenang pria kelahiran Malang tersebut.
Kecintaannya pada buku memang sudah mendarah daging. Kendati memiliki koleksi bukubuku langka, dia merasa ada yang kurang. Dia belum punya buku sendiri. Di usianya yang mencapai kepala delapan, dia ingin sekali mengabadikan hidupnya dalam sebuah buku. ’’Saya pengin punya buku sendiri, tapi belum terealisasi,” tuturnya setengah berbisik.
Hwie kemudian menuju meja kerjanya. Dia mengambil sebuah buku bersampul putih kombinasi biru. Sketsa wajahnya menjadi gambar sampul buku itu. Berbaur dengan foto Perpustakaan Medayu Agung. Buku tersebut terserak di antara segala macam kertas. ’’Ini yang sempat sudah jadi. Tapi, hanya sedikit,” lanjutnya.
Buku setebal 256 halaman tersebut mulai disusun sekitar 2002. Saat itu seorang wartawan lepas, Heru Krisdianto, membantunya menyusun buku lima bab tersebut. Maklum, saat itu kondisinya sudah tidak memungkinkan lagi menulis buku. Jemarinya sudah tidak kuat menekan tombol mesin ketik. ’’Saat itu saya sakit vertigo,” ujar Hwie. Tapi, buku tersebut bukan satu-satunya usaha Hwie membuat memoar.
Ya, memang Hwie sempat menyusun sebuah buku memoar. Tepatnya saat berada di penjara. Sahabatnya di Pulau Buru, Pramoedya Ananta Toer, memintanya untuk mulai menulis kisah hidupnya. ’’Hwie, kamu harus mulai nulis agar generasi muda tahu kisahmu,’’ kenang Hwie yang menirukan perkataan Pram.
Ketika itu, Hwie sedikit kaget. Dia mengaku kurang percaya diri. Ditambah lagi, trauma dipukuli petugas menciutkan nyalinya. Tapi, Pram meyakinkan dirinya. Apalagi, saat itu maestro sastra Indonesia tersebut menyanggupi untuk menjadi editornya.
Pria berkacamata itu pun memberanikan diri menulis. Senjatanya adalah pensil pemberian Pram. Media yang digunakan adalah kertas sisa bungkus semen. ’’ Kertas semen itu dibersihkan, lalu saya nulis di atasnya,’’ bebernya.
Kegiatan itu dilakukan setiap sore, setelah selesai bekerja di ladang. Lembar per lembar dikumpulkan. Tulisannya pun seadanya. ’’Susah dibacanya,” seloroh Hwie, lantas tertawa lepas. ’’Pensilnya kurang gede, mungkin kalau pakai pensil tukang bisa lebih jelas,” lanjutnya, masih dengan tawanya.
Kegiatan menulis tersebut ternyata dicurigai sipir. Beberapa kali sipir melakukan penggeledahan. Mencari tulisannya. Dia beradu cerdik dengan para sipir yang terkenal ganas. Namun, ketika Hwie baru saja menyelesaikan lembar ke seratusnya, sipir bisa mengendus naskahnaskah tersebut. ’’Itu razia yang keempat. Naskah yang saya sembunyikan ketahuan semua. Langsung dibakar ketika itu juga,” kenang Hwie, kali ini dengan raut yang sedikit murung.
Semangatnya langsung runtuh. Dia khawatir terbongkarnya tulisan tersebut mengancam hidupnya. Dan benar, meski selamat, dia sempat dihajar sipir. Sejak saat itu, Hwie lebih banyak diam di penjara. Aktivitas menulisnya berhenti. ’’Sampai saya bebas, ndak pernah nulis lagi. Takut,” terangnya.
Namun, keinginan itu muncul lagi. Beberapa tahun setelah bebas dari penjara, Pram kembali memintanya menulis memoar. Hwie sempat ragu, tapi akhirnya mengiyakan. Dia berpikir bahwa kondisinya yang sudah bebas membuatnya lebih leluasa. ’’Kendati saat itu, sebagai eks tapol, saya harus wajib lapor tiap minggu,” tutur bapak dua anak tersebut.
Akhirnya Hwie berani menulis sambil membuka usaha sablon di rumahnya di Malang. Media yang digunakan lebih bagus. Kertas tulis putih dan mesin ketik. Tulisannya pun lebih rapi dan lengkap. Lebih enak dibaca. Kondisinya yang tidak terkungkung dalam jeruji besi membuat pikiran Hwie lebih bebas. ’’Dalam kamar mandi pun kadang saya nulis, seenaknya,” selorohnya.
Ternyata, dia tetap diintai. Kegiatannya menulis kembali terendus aparat. Sekali lagi, mau tak mau, dia merelakan tulisannya diberedel aparat. ’’ Ternyata dirampas lagi, duh,” ungkapnya sambil menepuk keningnya.
Kondisi itu membuat Hwie semakin trauma. Bayang-bayang aparat terus menghantui. Dia tidak menulis lagi. Takut ditangkap dan dirampas lagi. Waktunya lebih banyak digunakan untuk mengkliping koran.
Suatu ketika ada yang bersimpati kepadanya. Ada seorang kolega di Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) yang memberikan kertas dan bolpoin. Dia mengaku tidak ingat namanya, tapi wajahnya masih diingat karena sering muncul dalam mimpinya. Kertas dan bolpoin itu disisipkan di kaleng roti. ’’Tapi, saya tetap ndak berani nulis, ndak berani,” tegasnya.
Ketidakberanian Hwie berlangsung cukup lama, hampir dua puluh tahun. Masagung, pendiri toko buku Gunung Agung, mengajaknya bekerja di toko bukunya. Dia kemudian hijrah ke Surabaya. Menjadi direktur toko buku cabang Surabaya.
Ketika Masagung meninggal pada 1993, Hwie pun otomatis berhenti bekerja. Dia kemudian membuka sebuah usaha grosir buku sendiri di Medayu. Belum sampai mendirikan perpustakaan. Namun, koleksi buku warisan kakek dan miliknya sendiri masih disimpan di plafon rumah. ’’Siapa yang berani menyimpan buku Lenin, Karl Marx, Hitler, dan Soekarno secara terbuka saat zaman Orde Baru?’’ ucap dia.
Buku- buku tersebut baru diturunkan setelah Reformasi 1998. Kemudian, secara kebetulan, dia bertemu dengan Ongko Tikdoyo. Nama terakhir itu merupakan putra mantan sahabatnya yang dibunuh dalam huru-hara 1965 tersebut. Melihat koleksikoleksinya, Ongko menyarankan Hwie untuk membuat dokumentasi yang baik. Lalu, Ongko datang lagi bersama Sindunata Sambudhi (yang kelak menjadi ketua Dewan Pembina Yayasan Medayu Agung).
Dari situlah cikal bakal Perpustakaan Yayasan Medayu Agung. Perpustakaan yang lebih sering menjadi tempat mencari literatur aneh-aneh. Sejumlah akademisi pun berkunjung untuk mencari bahan. Bahkan, juga kalangan akademisi nasional maupun internasional. Tak terkecuali para aktivis jebolan 1998.
Salah seorang aktivis 1998 yang berteman baik dengan Hwie adalah Heru Krisdianto. Saat itu Heru bekerja sebagai wartawan majalah Liberty. Heru sering datang ke perpustakaannya. Sampai pada awal 2000, Hwie mengutarakan kembali keinginannya untuk membikin sebuah memoar. ’’Heru semangat, meminta saya bercerita, dia yang menulis,” tuturnya.
Hampir setiap hari mereka menyusun buku itu. Belum genap setahun, buku tersebut telah rampung. Namun, dia masih takut untuk menerbitkannya. Dia takut sejarahnya terulang. Tulisannya dilarang dan perpustakaannya diberedel. ’’Tapi, alasan utamanya adalah tak ada dana, haha,” imbuh pria yang lahir pada 26 November 1937 itu.
Hwie mengaku tidak ada yang mau membantu pendanaan untuk penerbitan buku. Dia malu untuk meminta-minta. Akhirnya, selama belasan tahun buku tersebut hanya berbentuk draf. Sampai pada awal 2015, dia dan Heru memberanikan diri menyampaikan keinginan mereka ke Sindunata. ’’Saat itu Heru mendapat dana untuk cetak, tapi sangat terbatas,” ujarnya.
Alih-alih di percetakan besar, Hwie mengaku mencetak bukunya di sebuah toko fotokopi. Jumlahnya juga hanya sepuluh eksemplar. Buku tersebut tidak dijual bebas. Hanya orang-orang dipercaya yang diberi buku itu.
Memang, Hwie tidak mau mengomersialkan bukunya. Maunya dibagikan gratis agar semua orang bisa membaca. Namun, dia mengaku masih trauma dengan masa lalunya. Selain itu, dia masih belum sreg dengan hasil tulisan di buku tersebut. Masih kurang lengkap. ’’Kira-kira kurang 15 persen, terutama tentang kisah saat saya di Pulau Buru,” jelasnya.
Untuk itu, Hwie berharap bisa segera menyelesaikan kekurangan tulisannya. Dengan begitu, cita-citanya bisa segera tercapai. (*/c7/dos)