Badut Pengajar Kaum Papa
Harris Rizki punya jalan berbeda untuk mewujudkan cintanya pada literasi. Jalan yang sunyi, tetapi langsung menemui mereka yang memang benarbenar memerlukan.
MENGENAKAN kostum badut berwarna hijau bertotol, Harris Rizki berjalan keluar dari tempat kerjanya, SDN Bubutan 4. Harris berjalan seorang diri ke arah utara menuju permukiman padat penduduk di RT 6, RW 3, Kelurahan Bubutan
Di gang selebar dua meter, lelaki yang bekerja sebagai petugas Badan Arsip dan Perpustakaan (Baperpus) Kota Surabaya itu mulai mengetuk satu per satu pintu rumah warga. Dia ingin mengajak penghuninya ikut belajar bersama baca tulis. ’’Ayo, Bapak Ibu, mari belajar bersama Kak Badut,’’ teriaknya.
Warga yang sebagian besar ibu rumah tangga tersebut mengikuti ajakan Harris. Beberapa warga hadir bersama balitanya. Sebelum pelajaran dimulai, Harris langsung mengeluarkan boneka andalannya. ’’Halo, namaku Ayis,’’ ungkap Harris menirukan karakter suara bonekanya dengan nada cempreng. Sontak, kejadian itu membuat warga yang hadir tertawa terbahak-bahak.
Bukan hanya itu, agar suasana pembelajaran terasa rileks, Harris mengajak warga main game. Maju Mundur Cantik, namanya. Arahan untuk maju, mundur, dan ke samping itu dia ubah dengan nama buah. Alhasil, banyak arahan yang meleset. Canda tawa pun tidak terbendung lagi. Hahahaha.
Di antara para ibu, tampilan salah seorang peserta tampak mencolok dengan wajah keriputnya. Namanya Aisyah. Usianya sudah mencapai 70 tahun. Duduk lesehan paling depan, dia berseloroh di tengah pembelajaran. ’’Aku ndak sekolah, Mas. Jadi belum bisa baca,’’ ucap nenek lima cucu tersebut.
Saat diajar mengeja, Mak Sana, sapaan akrabnya, juga sempat ngotot sehingga membuat gelak tawa peserta lain. Ketika disuruh menulis ’’tahu’’, Sana menolak dan ingin menulis ’’tempe’’. ’’Emoh tahu, tempe, Mas,’’ ujarnya kepada Harris.
Pagi itu, lelaki kelahiran 18 Maret 1983 tersebut mengajarkan baca tulis sederhana. Mulai huruf A–Z hingga konsonan huruf yang membentuk sebuah kata. Dibantu kartu belajar huruf, pembelajaran selama satu jam itu membuat warga tidak bosan. ’’Konsep badut dan pembelajaran model informal ini saya lakukan agar materi mudah dipahami,’’ terang pria yang sudah bertugas sebagai pustakawan selama enam tahun tersebut.
Putra pasangan Paser Sastroatmodjo-Afifah itu mengungkapkan, dirinya melakukan kegiatan keliling kampung pinggiran padat penduduk tersebut sejak 2015. Waktu itu dia melihat banyak warga kampung pinggiran kota yang tidak bisa baca tulis karena tidak mengenyam pendidikan. ’’Memang tidak semua. Tapi, di setiap kampung yang padat penduduk dengan mayoritas keluarga ekonomi menengah ke bawah, pasti ada saja yang tak sekolah,’’ jelasnya.
Kondisi itu membuatnya mengambil inisiatif nekat. Berkeliling kampung pinggiran dengan kostum badut. Tidak tanggung-tanggung, agar kampung yang didatangi tidak bosan, Harris membuat 10 kostum dengan dana pribadi. ’’Selain badut, ada yang Gatotkaca dan Hanoman,’’ tutur suami Yenni Rahmawati tersebut.
Selain memberikan pelajaran baca tulis, dalam beberapa kesempatan Harris mendongeng agar anak-anak tidak jenuh menerima pembelajaran terus tanpa diselingi pertunjukan. Untuk kemampuan satu itu, Harris tidak perlu diragukan. Sebelum menjadi pengajar kampung, Harris mendongeng sejak 2009. Harris sudah berkeliling mendongeng di beberapa wilayah Wonokromo, Gundih, dan Pawiyatan.
Meski begitu, ajakan baik untuk belajar membaca itu tidak sepenuhnya mendapatkan kemudahan. Kadang Harris harus mengalami penolakan. Namun, dia tidak kapok. Menurut dia, dengan modal pendekatan yang pas, setiap warga sebenarnya bisa diajak bicara. ’’Ada sebenarnya yang nolak. Tapi, kalau didekati terus, mereka juga akan mau,’’ terangnya.
Hingga saat ini, alumnus Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Negeri Surabaya (Unesa) itu sudah berkeliling di lebih dari 20 kampung. Setiap kampung yang pernah dia datangi akan diulangnya secara bertahap. Tujuannya, melihat kondisi kampung yang sudah pernah dia datangi.
Tidak hanya unik, pada setiap kesempatan menyambangi kampung, Harris hampir selalu melakukan tradisi jalan kaki dan sepeda pancal untuk mencapai lokasi. Dia punya alasan khusus dengan kebiasaannya tersebut. Yakni, mendekatkan diri dengan masyarakat kampung agar tidak terkesan eksklusif.
’’Kalaupun tempatnya terlalu jauh dari rumah dan harus mengendarai motor, biasanya saat titipkan kendaraan itu di sekitar lokasi. Dan akan jalan kaki lagi menuju tempat belajar,’’ jelas penggemar bakso tersebut.
Harris berharap, dengan kegiatan itu, ke depan angka buta huruf makin berkurang. Dia percaya, dengan pendekatan dan tidak menjaga jarak dengan kaum papa, pendidikan akan merata dan otomatis kualitas sumber daya manusia (SDM) makin baik. (Edi Susilo/c14/dos)