Dirikan Sanggar hingga Adakan Pelatihan untuk Guru
Modernisasi makin menggerus tari daerah. Jika tidak diimbangi upaya konkret, tari daerah bisa punah. Karena itu, Kepala UPT Pemberdayaan Lembaga Seni Wilwatikta Surabaya Arif Rofiq melakukan berbagai cara untuk menyelamatkan budaya lokal tersebut.
PENDAPA Cak Durasim terlihat semarak. Malam itu, 35 tim beradu kebolehan menampilkan tari daerah. Mereka merupakan wakil TK, SD, dan remaja (SMP dan SMA). Kebanyakan justru tak datang dari Surabaya, melainkan dari beberapa kabupaten/kota di Jawa Timur. Ada yang datang dari Blitar, Ponorogo, Jember, dan Mojokerto.
Tarian yang dibawakan juga bervariasi. Beberapa memang membawakan tari khas daerah asal masing-masing. Lengkap dengan kostum serta dandanan yang selaras dengan tema tarian.
Lomba tersebut merupakan salah satu upaya Arif untuk melestarikan tari daerah. Menurut dia, rasa cinta terhadap budaya lokal harus ditanamkan sejak kecil. Karena itu, melalui lomba tersebut, seluruh potensi tari Jawa Timur bisa bertemu. Lewat ajang itu pula dia bisa mengetahui perkembangan seni di daerah.
Memang, Arif sedang giat menghidupkan potensi tari Jawa Timur. Dia menginginkan provinsi ini bisa sejajar dengan Jogja maupun Bali yang tari daerahnya sudah mendunia.
Selain memoles potensi anak-anak lewat sanggar tari miliknya, yakni Raff Dance Indonesia, Arif getol mengadakan pelatihan guru tari. ’’Paling cepat kalau guru yang menanamkan kepada mereka di sekolah,’’ ujarnya.
Hampir tiap tahun Arif melakukan pelatihan bagi guru tari. Diharapkan, melalui guru dan sekolah, bisa muncul generasi yang nanti bersedia melestarikan tari daerah. Harus diakui, jumlah anak muda yang bersedia menggeluti tari daerah memang tak banyak.
Contohnya, Arif menunjuk lima anak perempuan mungil yang berlatih di belakang panggung. Kelimanya tampak serius mempersiapkan diri untuk menampilkan tari dongklak.
Menurut Arif, rasa cinta terhadap budaya tak lepas dari peran guru tari. Bagi anak usia 4–5 tahun tersebut, motivasi mereka untuk tetap menari harus dipertahankan hingga besar nanti. ’’Caranya ya lewat sekolah. Kembali lagi karena guru,’’ tambah pria yang pernah menari remo di Istana Negara pada 2003 tersebut.
Selain melatih, Arif sering menciptakan karya tarian. Berbagai tarian diciptakannya dengan mengadaptasi kekhasan beberapa daerah di Jawa Timur. Misalnya, tari Kasomber dan Karapan Sapi ciptaan Arif. Dua tarian tersebut mengadopsi keunikan-keunikan budaya Madura.
Sementara itu, di Surabaya ada tari Neng Tunjungan dan Suro Waning Boyo yang kini mulai dipertontonkan dalam beragam acara.
Meskipun tarian itu adalah hasil karyanya, Arif tak serta- merta menyimpan sendiri. Dia membebaskan siapa pun untuk menarikannya. Justru dia senang jika banyak yang mempelajari dan ikut menyebarkan. Meski, terkadang ada yang iseng mengklaim karya Arif tersebut. Namun, niat melestarikan tari membuat Arif tak ingin memper masalahkan hal tersebut.
Arif kini juga menghabiskan banyak waktu mengurusi Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya. Di sana dia menuangkan banyak ide untuk mencetak mahasiswa yang siap menjadi seniman. Melihat jumlah mahasiswanya yang memang belum seberapa, Arif mengharapkan bibit-bibit baru tumbuh sejak dini. Sejak di TK hingga SD misalnya. Untuk itu, Arif berkomitmen terus menumbuhkan bibit-bibit itu lewat sanggar tarinya dan guruguru tari yang dilatihnya. (*/c5/c10/oni)