Berlatih Ndhalang Semalam Suntuk
Seni pedalangan harus dilestarikan. Itulah komitmen SMKN 12. Sekolah di Jalan Siwalankerto tersebut menjadi satu-satunya sekolah di Jawa Timur yang mengajarkan cara mendalang.
IKE Nur Kumalasari lincah menggerakkan dua wayang dengan tangan kanan dan kirinya. Di tangan kanan perempuan berusia 16 tahun itu ada wayang Patih Handanayuda dari Negara Purwacarita. Di tangan kirinya ada Patih Bramangkara dari Negara Sunggelamanik.
Sebelumnya, perempuan yang duduk di bangku kelas X SMKN 12 itu memukul cempolo sebagai tanda dimulainya pertunjukan. Kakinya aktif memukul keprak. Ike merupakan salah seorang siswa yang ingin belajar menjadi dalang. Karena itu, dia rajin berlatih.
Kepala Kompetensi Seni Pedalangan SMKN 12 Supriyono menyatakan, pembelajaran seni pedalangan di SMKN 12 bersifat multikultur. Artinya, tidak hanya mengajarkan satu gaya seni pedalangan Jawa Timuran, melainkan juga pedalangan Surakarta.
Secara umum, kata dia, tidak ada yang berbeda antara dua gaya seni pedalangan itu. Hanya, ada sedikit karakter yang tidak sama. Jika gaya Surakarta lebih kalem, gaya Jawa Timuran memiliki teknik pukulan kendang yang lebih kuat. ’’Di sini siswa diajari mendalang semalam suntuk,’’ katanya.
Untuk bisa mendalang, siswa diajari tiga hal dasar. Yakni, cara memegang wayang, dasar vokal, serta dasar dialog. Dasar-dasar itu wajib diketahui mereka. ’’Kalau sudah mampu, bisa berkreasi. Jadi, tidak ngawur. Ada teorinya,’’ tuturnya.
Dodogan, misalnya. Bunyi dog-dog-dog itu muncul ketika dalang memukul cempolo di bagian dalam kotak wayang. Dodogan itu tidak asal berbunyi. ’’Ada hitungannya,’’ jelasnya. Dodogan dengan cempolo besar punya arti terselubung. Yakni, kode atau perintah tertentu dari dalang kepada para pengiring.
Dalam panggung wayang, juga ada bagianbagian. Yakni, jagadan, langitan, sitinggil, dan paseban. Jagadan, kata Supriyono, dibatasi gunungan. Jagadan diukur sesuai dengan jangkauan tangan dalang. ’’ Luwih ombo luwih apik,’’ ujarnya.
Sitinggil dan paseban merupakan dua bilah batang pisang tempat menancapkan wayang. Bedanya, posisi sitinggil lebih tinggi daripada paseban. ’’Ini menunjukkan kedudukan tokoh,’’ terangnya.
Dasar vokal terdiri atas laras slendro dan laras pelog atau dalam istilah modern disebut tangga nada. Keduanya dimainkan dalam gending dengan seperangkat gamelan.
Selanjutnya, ada dasar dialog yang harus dikuasai siswa. Dasar dialog yang dimaksud adalah tata bahasa. Yakni, bahasa ngoko, krama, sastra kawi, dan bahasa pedalangan. ’’Bahasa pedalangan ini khusus. Kosakatanya ada hierarkinya,’’ ungkapnya.
Kosakata atau tata bahasa tokoh yang satu dengan tokoh yang lain bisa berbeda. Bergantung pada golongan atau kedudukan tokoh yang bersangkutan. Tata bahasa yang khusus itu juga harus dipahami siswa. ’’Jadi, memang kompleks. Ini baru dasar. Belum bahasa, permasalahan, suasana, konflik, dan solusinya, dalang harus bisa,’’ tegasnya.
Seperti dalang pada umumnya, siswa harus bisa mendalang semalam suntuk. Durasi semalam suntuk adalah enam jam, pukul 21.00 hingga pukul 03.00. Ada juga yang sampai pukul 04.00. ’’Pokoknya sebelum subuh,’’ imbuhnya. Poinnya, dalang harus bisa mengolaborasikan keterampilan memegang wayang, nembang, dan melakukan dialog.
Supriyono menyebutkan, di SMKN 12, ada 19 siswa yang belajar mendalang. Mereka terdiri atas 8 siswa kelas X, 7 siswa kelas XI, dan 4 siswa kelas XII. Dua di antara mereka adalah perempuan. Mereka tidak hanya berasal dari Surabaya, tetapi banyak yang berasal dari luar kota seperti Mojokerto, Jember, Lumajang, Kediri, dan
Ponorogo. (puj/c5/jan)