Jawa Pos

Lebih Akrab sebagai Kampung Banjir

-

SIDOKARE memiliki catatan sejarah penting bagi Sidoarjo. Pada zaman peme rintah Hindia Belanda, Sidoarjo bernama Kadipaten Sidokare. Wilayah itu masuk menjadi bagian dari Surabaya.

Lalu, Sidoarjo ’’ bercerai’’ dari Surabaya dan menjadi kabupaten sendiri pada 31 Januari 1859. Adipati pertama Sidoarjo adalah RTP Tjokronego­ro

Kelahiran Sidoarjo sebagai kabupaten baru itu berdasar Keputusan Pemerintah Hindia Belanda No 9/1859 Staatsblad Nomor 6. Nama Kadipaten Sidokare pun berubah menjadi Kabupaten Sidoarjo. Kini Sidokare hanya menjadi bagian dari wilayah Kabupaten Sidoarjo.

Sidokare berada di wilayah kelurahan di Kecamatan Sidoarjo Kota. Masih adakah jejak peninggala­n Sidokare sebagai kampung lama?

Kemarin (30/1), Jawa Pos menelusuri­nya. Sayang, Sidokare sebagai kampung lama seolah tidak berjejak. Bahkan, ketika masuk ke kampung tersebut, gapura bertu_ lisan Sidokare pun tidak tampak.

Sepanjang jalan memasuki perkampung­an Sidokare, permukiman warga telah dibangun lebih modern. Perumahan-perumahan elite pun banyak berdiri di Sidokare. Beberapa pegawai Kelurahan Sidokare pun tidak mengetahui sejarah Sidokare.

Lurah Sidokare pada era 1981– 2000 M. Ircham Chassan mengungkap­kan, Sidokare dulu memang berupa kadipaten, lalu berganti menjadi kabupaten. Namun, saat ini praktis sudah tidak ada sisa-sisa cagar budaya yang menjadi bukti bahwa Sidokare merupakan pusat pemerintah­an saat menjadi kadipaten. ’’Tidak ada bangunan lama yang masih ada,’’ katanya.

Pria kelahiran 11 Desember 1944 itu mengungkap­kan, semasa hidupnya, dirinya hanya melihat satu bangunan tertua peninggala­n zaman Belanda di Jalan KH Mukmin. Yakni, bangunan pabrik penggiling­an padi. Ada cerobong menjulang tinggi yang usang. Pemiliknya bernama Ang Tiabing. Namun, pabrik itu akhirnya dijual pada 1991–1992 dan kini menjadi perumahan dan Ci-Walk.

’’Dulu saya juga sempat berkomunik­asi dengan anak pemiliknya. Mereka juga sering menggunaka­n bahasa Belanda seharihari,’’ ujarnya.

Sejak pabrik penggiling­an padi itu diubah menjadi Ci-Walk, kini tidak ada lagi bangunan lawas di Sidokare. Seluruh bangunan di wilayah Sidokare berubah. Tergerus modernisas­i. ’’ Jadi, sudah tidak ada tetenger. Semua sudah hilang,’’ katanya.

Kelurahan Sidokare terdiri atas empat wilayah. Yakni, Kutuk (timur, barat, dan tengah), Praban, Kapasan, dan Cangkring. Ada 63 RT dan 16 RW di Kelurahan Sidokare. Jumlah penduduk di Kelurahan Sidokare mencapai 14 ribu jiwa.

Ircham menceritak­an, Sidokare memiliki wilayah yang terbilang punya sejarah unik. Yakni, kawasan RS Siti Hajar ke belakang seluas 2 hektare. Jarak wilayah itu tentu cukup jauh dari Kelurahan Sidokare. Bahkan melewati Kelurahan Pekauman dan Bulu Sidokare. ’’Siti Hajar itu masih termasuk wilayah Sidokare. Jangan salah, mereka mengurus apa pun tetap ke Kelurahan Sidokare,’’ ujarnya, lantas terkekeh.

Zaman dulu, kata Ircham, di wilayah Sidokare dan sekitarnya masih banyak rawa-rawa. Saat itu pernah ada kejadian penemuan mayat tidak beridentit­as di wilayah RS Siti Hajar. Pejabat Belanda pun mengumpulk­an seluruh lurah untuk menanyakan identitas mayat tersebut. Banyak lurah yang terdiam. Namun, ketika itu lurah Sidokare mengakui bahwa mayat tersebut adalah warganya. Padahal, mayat itu bukan warganya.

’’ Ketika mayat itu diakui, lurah Sidokare langsung diberi hadiah wilayah tersebut seluas 2 hektare di Jalan Raden Patah Nomor 70 hingga area belakangny­a,’’ ungkapnya.

Hingga sekarang, area Jalan Raden Patah itu masih masuk daftar kependuduk­an Kelurahan Sidokare. Pengurusan surat-surat maupun pemilu pun melalui Kelurahan Sidokare.

Kantor Kelurahan Sidokare sudah tiga kali berpindah. Pada zaman Belanda, kantor kelurahan berada di Kutuk Barat. Lalu, pindah lagi ke wilayah yang sama. Kini kantor kelurahan berada di Perumahan Sidokare Indah. ’’Kantor lurah yang lama juga sudah tidak ada bekasnya. Sekarang dipakai rumah pribadi. Yang kedua dipakai warung kopi,’’ katanya.

Sidokare kini telah mengalami perubahan signifikan. Sekitar 1994 mayoritas warga Sidokare masih bekerja sebagai petani. Sebab, 61 hektare tanah di wilayah Sidokare adalah area persawahan. Kini sudah tidak ada sama sekali lahan persawahan. Semua sudah menjadi perumahan. Misalnya, Sidokare Indah dan Sidokare Asri. ’’Dulu kalau banjir, airnya kan mengalir ke sawah. Sekarang, ya ke rumah penduduk,’’ tegasnya.

Karena termasuk berada di pusat kota, wajar apabila Sidokare menjadi incaran pengembang. Di Kelurahan Sidokare pun banyak tempat tinggal sejumlah tokoh dan pejabat. Di antaranya, rumah Sekretaris Daerah (Sekda) Djoko Sartono.

Di mata masyarakat, nama Sidokare tidak lagi identik sebagai nama kampung yang pernah menjadi kadipaten. Namun kampung yang selalu menjadi langganan banjir setiap tahun. (ayu/c5/hud)

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia