Mencermati Dinamika Strategis Asia Timur
PRESIDEN Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengirim sinyal sedang terjadi perubahan lingkungan strategis di Asia Timur yang melibatkan tata kelola hubungan Washington dengan Beijing.
Awal Februari, Menteri Pertahanan James Mattis berkunjung ke dua sekutu terdekat AS, yakni Jepang dan Korsel. Tujuan Mattis ialah menepis berbagai spekulasi yang sempat berembus, terutama pada masa kampanye Trump mengenai nasib aliansi militer Jepang, Korsel, dan AS. Trump memang meminta Jepang dan Korsel memberikan kontribusi riil lebih besar dalam rangka membendung Tiongkok dan Korut.
Artinya, Seoul dan Tokyo harus mampu mengembangkan proyek persenjataan dan modernisasi militer. Suatu hal yang sangat tidak mungkin dilakukan saat kondisi ekonomi stagnan. Namun, Mattis berhasil menenangkan situasi dengan menegaskan komitmen Washington tetap pada penciptaan payung keamanan secara kolektif.
Sebelumnya senator John McCain selaku ketua Komisi Angkatan Bersenjata Senat AS mengajukan rencana penambahan anggaran belanja militer fantastis sekitar USD 7,5 miliar untuk pengembangan inovasi dan peningkatankapabilitasmiliternegara sekutu di Asia Timur. Juru bicara Trump menyebut proposal McCain beresonansi dengan visi strategis Gedung Putih. Di era Presiden Barack Obama, pada 2015 saja Pentagon sudah mengucurkan sekitar USD 425 juta untuk membantu Vietnam, Malaysia, Indonesia, dan Filipina memperkuat dan meremajakan infrastruktur, terutama bagi armada yang berhadapan langsung dengan wilayah Laut China Selatan. Karena itu, ada benang merah kebijakan militer di bawah Obama dan Trump.
Apa tujuan AS? Menandingi dan menghalau ( rebalance) peningkatan aktivitas Angkatan Laut Tiongkok di Asia Timur sampai ke Samudra Hindia. Selama sepuluh tahun, mulai 2005 hingga 2015, belanja militer Tiongkok naik terus ratarata 0,24 persen per tahun sehingga pada 2015 total pengeluaran militer mencapai USD 13,4 miliar. Sebagian besar digunakan untuk membangun divisi tempur di Asia Tenggara dan Asia Timur. Sementara di Samudra Hindia Tiongkok berfokus pada pembangunan armada kapal selam bertenaga nuklir. Merespons Tiongkok, AS menambah jumlah personel militer dan perlengkapan tempur di pangkalan milik Australia di Samudra Hindia. Kabar dari Pentagon, AS pun ingin meluaskan jangkauan jelajah armada Divisi V Asia-Pasifik yang dipersenjatai dengan kapal selam nuklir sampai ke Samudra Hindia.
Satu lagi perkembangan penting, Trump beralih dari pendekatan institusi multilateral seperti Kemitraan Trans-Pasifik (TPP) menjadi kerja sama bilateral intensif. Sasaran Trump ada dua: memperkuat relasi dengan kawan lama dan membina hubungan konstruktif dengan rival klasik seperti Rusia. Yang pasti, semua kebijakan Trump dibingkai dalam strategi meminimalkan pengaruh Tiongkok. Dibanding Obama, Trump lebih asertif terhadap Tiongkok. Gejala itu barangkali mengindikasikan kebenaran tesis John Mearsheimer bahwa kebangkitan Tiongkok di Asia akan menjadi ancaman bagi hegemoni AS yang memudar. Walaupun tidak serta-merta bermakna di masa depan terjadi benturan keras ataupun perang AS-Tiongkok, bagi pembuat kebijakan luar negeri di Jakarta, indikasi perubahan yang sedang berlangsung perlu diantisipasi.
Pertama, secara geopolitik Indonesia dikepung dua raksasa militer yang sedang berlomba memperbesar dan memperkuat diri. Bahkan, Indonesia menjadi bagian dari agenda strategis Washington lewat kerja sama militer kedua negara. Sementara rencana diversifikasikolaborasimiliterbersama Tiongkok masih belum terlaksana, posisi Indonesia berseberangan dengan Tiongkok. Karena itu, apabila muncul ketegangan antara Beijing dan Washington, Jakarta tidak akan bisa bersikap netral.
Pandangan para elite di Jakarta terhadap AS dan Tiongkok terbelah. Kalangan militer nasionalis tetap menganggap Tiongkok sebagai pihak yang tidak bisa dipercaya sehingga sepak terjangnya patut dicurigai. Kalangan nonmiliter, termasuk diplomat dan pebisnis, menyadari potensi dan kinerja ekonomi Tiongkok yang luar biasa.
Kedua, kendaraan diplomatik utama Indonesia di Asia Timur pun tidak luput dari ekstensi persaingan ASTiongkok. Contoh aktual, di internal ASEAN sangat sulit menggalang kohesi dan kepaduan sikap dalam menghadapi dinamika interaksi negara adidaya. Kamboja, Laos dan Myanmar menikmati manfaat ekonomi dari banjir investasi dan bantuan luar negeri Tiongkok sehingga tidak mungkin mereka akan bersikap kritis, apalagi konfrontatif, terhadap Beijing.
Sementara itu, Filipina dan Vietnam yang bersengketa teritori dengan Tiongkok di Laut China Selatan mendekat secara politik kepada AS. Mereka mengizinkan penggunaan pangkalan angkatan laut di sekitar Laut China Selatan sebagai basis pertahanan AS di Asia Tenggara. Implikasinya, hingga kini ASEAN belum berhasil mencapai kata sepakat perihal kebijakan bersama merespons Tiongkok.
Dua institusi lain, yaitu Konferensi Tingkat Tinggi Asia Timur dan Forum RegionalASEAN,mendemonstrasikan satu kekuatan yang sekaligus menjadi kelemahan mereka: keanggotaan yang terlalu inklusif. Semua aktor strategis diajak bergabung, termasuk AS, Australia, Selandia Baru, Rusia, India, dan Tiongkok. Bahkan, Korut pun masuk sebagai anggota Forum Regional ASEAN. Konsekuensinya, forum yang dibentuk akomodatif sebagai pembuat norma dan aturan main gagal dalam menerapkan hasil kesepakatan serta menghasilkan perubahan berdampak strategis.
Dengan kata lain, instrumen diplomasi kita hanya efektif di ruang pertemuan, tidak efektif di lapangan. Indonesia berada dalam dilema dan krisis. Gaya kepemimpinan Trump memperlihatkan betapa besar pengaruh ide dan preferensi pribadi seorang pemimpin terhadap kebijakan negara demokratis meskipun mekanisme check and balance telah berjalan sistematis. Trump adalah figur yang susah ditebak, mau ke mana sebenarnya AS dibawa dan mau diapakan hubungan dengan Asia ke depan. Untuk itu, Jakarta harus bersiap. (*) *) Dosen Hubungan Internasional FISIP Universitas Airlangga