Tuding Balai Kota Gegabah
Pengadaan Damkar Bronto Senilai Rp 28,2 M
MADIUN – Tudingan miring dilontarkan Ketua Komisi II DPRD Kota Madiun Ngedi Trisno Yhusianto kepada pemkot. Politikus PKB itu menilai pihak Balai Kota –sebutan Pemerintah Kota Madiun– gegabah dalam menunda pembayaran mobil pemadam kebakaran (damkar) Bronto Skylift F 55 RLX. ”Pemkot gegabah. Ya seharusnya dibayar lah,’’ ujarnya saat ditemui Jawa Pos Radar Madiun kemarin (17/2).
Dia menjelaskan, pengurusan dokumen atau surat kendaraan bergerak pasti dibuat belakangan setelah barang dikirim. Ironisnya, pembelian mobil damkar oleh pemkot, rupanya, tidak disertai uang muka atau down payment (DP).
Wajar apabila PT Marani Ripah Globalindo mengajukan gugatan wanprestasi kepada pemkot sebagai wujud apresiasi terhadap prestasi yang telah dilakukan. ”Di mana-mana, kalau beli barang bergerak itu surat-suratnya pasti menyusul. Jadi, duitnya ditahan, tidak dibayar semua,’’ terangnya.
Menurut Ngedi, pemkot seharusnya membayar mobil damkar pabrikan Finlandia tersebut. Besaran yang mesti dibayar senilai Rp 26,173 miliar. Apalagi, pihak penyedia jasa tepat waktu dalam memenuhi kewajibannya, di mana mobil itu harus tiba di Kota Madiun sebelum 10 Desember 2016. ”Sisanya yang Rp 2,042 miliar bisa nunggu ketika STNK jadi,’’ ujarnya.
Pengurusan surat kendaraan dari luar negeri itu memang membutuhkan waktu lama. Sebab, prosesnya harus melewati bea cukai dan mengurus sertifikat registrasi uji tipe (SRUT) di Ditjen Perhubungan Darat Kemenhub. ”Hanya karena built-up, jadi harus menunggu proses SRUT,’’ kata Ngedi.
Pembayaran, lanjut dia, baru bisa dilakukan pemkot paling cepat pada APBD perubahan (APBD-P) 2017. Sebab, anggaran untuk pembelian mobil damkar itu memang tidak dianggarkan pada APBD 2017. ” Yang saya tanyakan, uang Rp 28,2 miliar itu nanti yang menanggung bunganya siapa? Kan itu duit dealer dari (pinjam, Red) bank,’’ tegasnya.
Dalam petitum gugatan yang diajukan kuasa hukum PT Marani Ripah Globalindo, pemkot dituntut mengganti bunga di Bank Jabar Banten (BJB) Cabang Surabaya yang besarnya 12,5 persen per tahun. Jadi, bunga setiap bulan adalah 1,0416 persen dari Rp 26,173 miliar atau sekitar Rp 272,636 juta per bulan. Apabila dihitung sampai gugatan itu diajukan dua bulan, pembayarannya menjadi Rp 545,272 juta atau sampai kewajiban tersebut dipenuhi pihak tergugat.
Pemkot juga diminta membayar bunga keterlambatan pembayaran Rp 1,57 miliar serta dwangsom atau uang paksa Rp 10 juta setiap hari keterlambatan pelaksanakan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Ngedi berharap masalah tersebut cepat selesai. Ada jalan keluar saat mediasi berlangsung. Namun, dia meminta mediasi tidak berlarut-larut atau tidak mendahului pembahasan PAK. Dengan begitu, gugatannya dapat dicabut. ”Jadi, pemkot bisa minta permohonan ke DPRD untuk mengajukan anggaran dengan dasar ini,’’ tegasnya.
Sebelumnya, Plt Kepala DPU dan Tata Ruang Pemkot Madiun Suwarno mengklaim bahwa masalah itu timbul hanya karena persoalan administrasi. (her/ ota/c25/diq)