Hasilkan Duit Sendiri, Jadi Akur dengan Mertua
Dianggap sebelah mata memang menyakitkan, apalagi jika yang melakukan itu orang terdekat. Namun, perempuanperempuan ini membalas dengan bukti bahwa mereka bukanlah tipe penggerogot dalam keluarga.
ZUHRONI, 33, dulunya penjual tahu goreng. Perempuan asal Selong, Lombok, yang biasa disapa Rani itu hidup serumah dengan mertuanya. Layaknya kisah dalam sinetron, hubungan antara menantu dan mertua tidak akur.
Ketidakharmonisan itu jelas membuat dia tertekan. Apalagi, suaminya juga ’’sepaham’’ dengan sang ibu, yang notabene mertua Rani. Ibu rumah tangga yang hanya berpendidikan SMA ini dianggap terlalu banyak meminta dan menuntut. Padahal, sejatinya Rani juga bekerja, namun hasilnya memang tak begitu besar. Walhasil, biduk rumah tangganya kerap diwarnai baku mulut. ”Tapi kalau suami marah, suara saya malah bisa lebih keras lagi,” tuturnya seraya tertawa mengenang masa lalu.
Tidak mau terus-menerus dianggap beban dan jadi korban kekerasan verbal dalam rumah tangga, Rani pun mencoba peruntungannya. Dia tinggalkan jualan tahu, beralih memasarkan produk minuman probiotik dari rumah ke rumah.
Upaya dia untuk memberdayakan diri secara finansial berhasil. Rani bisa mengumpulkan penghasilan yang jauh lebih besar dari ekspektasi keluarga suaminya. Awalnya mereka tak percaya Rani bisa mengantongi jutaan rupiah per bulan. ”Mereka baru percaya waktu akhirnya saya bisa bantu beli tanah,” lanjut ibu dua anak itu.
Rani yang tadinya dipandang sebelah mata oleh keluarganya, sekarang malah bisa memenuhi semua kebutuhan keluarga. Bukan hanya tanah, dia juga membeli motor yang kemudian dipakai suaminya bekerja.
Kegetiran hidup itu juga pernah dirasakan Gusti Ayu Dewi, 42. Biduk rumah tangganya sempat limbung ketika sang suami, yang menjadi satu-satunya tulang punggung keluarga, tiba-tiba di-PHK. Padahal, anak tertuanya bersiap masuk SMA. Dan jelas butuh biaya yang tak sedikit. Sementara tabungan makin menipis karena tak ada yang bekerja.
Perempuan yang tinggal di Gitgit, Singaraja, itu tak mau tinggal berpangku tangan. Meski tak punya pengalaman kerja, dia mulai mencari informasi. ”Waktu lihat ada kesempatan bekerja, saya tanya suami dan akhirnya dibolehkan. Jadi kami gantian,” ujar Ayu, saat ditemui setelah mengikuti awarding dalam Konferensi Yakult Lady 2017 di Hotel Harris Surabaya Kamis (16/2).
Kondisi sekarang berbalik. Kini giliran Ayu yang banting tulang demi menghidupi keluarganya. Layaknya stereotip kaum hawa Pulau Dewata yang dikenal sebagai pekerja keras, dia membuktikan bahwa itulah saatnya dia berperan lebih untuk urusan keuangan keluarga. Ayu beruntung, suaminya sangat mendukung.
Ayu dan keluarganya kini bisa tersenyum. Selain kebutuhan sehari-hari terpenuhi lebih layak, empat sepeda motor kini terparkir di rumahnya. Nyaris semua anak punya satu motor. ”Karena saya kan KB Bali, 4 anak cukup,” canda perempuan ramah itu.
Walau harus memeras keringat, kadangkadang sampai sakit, baik Rani dan Ayu mengaku merasa lebih sehat sekarang. Malah, berat badan mereka naik ketimbang waktu belum mengemban tugas sebagai Yakult Lady.
Ayu, misalnya, dulu berbobot 50 kilogram. Sekarang, timbangan tak pernah menunjukkan angka di bawah 70 kilogram. ”Soalnya kita melakukan pekerjaan dengan senang hati. Capek tidak terasa, karena semua demi anak-anak juga,” tutur Rani, yang tiap hari mengayuh sepeda onthel berkeliling door to door mengenalkan produk minuman susu fermentasi dari Jepang.
Mereka berdua tak ingin anak-anaknya merasakan hal yang sama dengan orang tua mereka dulu. Untuk beli makan saja sangat sulit. ”Kalau bisa, anak-anak itu sekolah yang tinggi sampai sarjana,” tutur Ayu. Ia tak peduli meski kadangkala dicibir tetangganya. Memang di lingkungan Ayu, stigma bahwa perempuan tak perlu sekolah tinggi masih kuat. Namun bagi Ayu, mau laki-laki atau perempuan tetap sama-sama memiliki hak yang sama untuk mendapat pendidikan. Dengan pendidikan, ia berharap anakanaknya bisa mendapat nasib yang jauh lebih baik. (debora danisa/ami)