Bedah Sisi Filosofi Dolanan Lawas
Berkurangnya minat anak-anak memainkan aneka tradisional menggugah hati Mustafa Sam. Dia membentuk Komunitas Kampoeng Dolanan. Berawal dari kegiatan karang taruna, gerakan komunitas itu kini mulai menyebar ke beberapa kawasan di Surabaya.
dolanan
NAILA Oktavia Rahmadani terlihat begitu riang. Bocah kelas V SD itu bersama teman-teman perempuannya menyoraki kelompok anak lakilaki. Ternyata, anak-anak perempuan tersebut baru saja memenangi dua kali lomba tarik tambang.
’’Ayo sing kalah njoget,’’ teriak Naila dan beberapa bocah perempuan lainnya sambil bertepuk tangan. Suasana makin seru dengan kehadiran beberapa remaja yang tergabung dalam Karang Taruna RT 4, RW 2, Kelurahan Simokerto.
Lomba itu dilaksanakan di lahan samping rel kereta yang masih aktif menuju depo Sidotopo. Tapi, hal tersebut tidak mengurangi keceriaan anak-anak di sana. Bahkan, mereka rutin melombakan aneka permainan tradisional setiap Minggu siang. Tepatnya, selepas pulang dari car free day.
Saban Minggu pagi, anak-anak dan remaja Karang Taruna RT 4, RW 2, Simokerto, memang punya ritual khusus
Mereka datang ke car free day untuk mengampanyekan berbagai permainan tradisional. Ritual rutin itu merupakan bagian dari gerakan Komunitas Kampoeng Dolanan. Penggagasnya anak muda asli kampung setempat bernama Mustofa Sam.
Jawa Pos menemui Mustofa Sam seusai pulang dari car free day Minggu (12/2) di rumahnya yang tak jauh dari lintasan kereta api Jalan Raya Kenjeran. Jarak rumahnya dengan tempat bermain anak-anak tersebut hanya beberapa langkah.
Siang itu, Mustofa sedang mengumpulkan para relawan Kampoeng Dolanan. Volunter Kampoeng Dolanan tidak datang dari sekitar Simokerto saja. Mereka berasal dari berbagai kawasan di Surabaya dan sekitarnya. Kebanyakan mahasiswa berasal dari berbagai latar belakang kampus dan jurusan.
Dengan ditemani aneka gorengan khas kampung, Mustofa dan para relawan Kampoeng Dolanan membahas berbagai agenda dan program kerja. Maklum, komunitas itu memang masih seumur jagung. Jadi, mereka masih menyusun agenda-agenda kegiatan. Meski masih belia, yang dilakukan komunitas tersebut mulai viral dan memengaruhi banyak orang.
Cak Mus, sapaan Mustofa, menyatakan bahwa secara branding, Komunitas Kampoeng Dolanan berdiri pada Desember 2016. Namun, sebelum itu, kegiatan kecil-kecilan mulai berjalan. Komunitas tersebut berdiri ketika Mustofa setengah ”dipaksa” menjadi pengurus karang taruna.
Saat itulah, dia mengusulkan agar karang taruna menghidupkan lagi permainan tradisional yang mereka mainkan saat anak-anak. Pengurus kampung pun setuju dengan ide tersebut. Kegiatan mereka dimulai dari kampung sendiri.
’’Saat itu, warga dan karang taruna mulai mengumpulkan aneka jenis permainan tradisional,’’ ucap Mustofa sambil sesekali mengudap martabak madura. Itu adalah jenis martabak berisi bihun yang digoreng dengan minyak dari lemak daging.
Cara warga kampung mengumpulkan permainan tradisional pun bermacam-macam. Ada yang bongkar-bongkar gudang untuk mencari mainan lawas. Ada yang mencari di pasar loak. Ada yang membantu membuatkan sarana permainan.
’’Misalnya, karambol. Awalnya, kami mau membeli mejanya. Tapi, kemudian ada yang menawarkan diri untuk membuatkan,’’ ujarnya. Ada juga yang dengan sukarela membuatkan untaian karet untuk permainan lompat tali.
Setelah aneka jenis permainan terkumpul, Mustofa dan para pemuda karang taruna mulai mengampanyekan gerakannya kepada anak-anak di lingkungannya. Ketika anak-anak setempat mulai sadar dengan asyiknya melakukan permainan tradisional, karang t arun aco b amen g am pa n y e kan ke luar kampung. Mereka memilih acara car free day di Jalan Tunjungan sebagai salah satu sarana kampanye.
’’Warga cukup semangat. Kami sering datang dengan menumpang angkot yang disewa bareng-bareng,’’ ceritanya. Di arena car free day, komunitas itu memamerkan berbagai bentuk permainan tradisional. Mereka juga menyampaikan cerita-cerita unik serta filosofi di balik permainan tersebut.
Dia mencontohkan permainan dakon. Permainan tersebut ternyata selama ini berada di banyak daerah. Bukan hanya di Indonesia, di Afrika ada permainan serupa. Di sana malah lebih ekstrem. Jumlah lubang dakonnya 38 titik.
Dalam dakon tersebut, banyak filosofi yang bisa ditanamkan kepada anak-anak. Mustofa mengatakan, dalam dakon, anakanak diajari bersedekah kepada siapa saja. ’’Termasuk lawan main atau kelompok yang berbeda. Berbuat baik kan memang harus seperti itu. Tak boleh melihat untuk siapa dan apa latar belakangnya,’’ terang pria kelahiran Bangkalan, 2 Mei 1991, itu.
Dalam dakon juga terselip nilainilai untuk menabung (menyimpan buah dakon). ’’Yang seperti itulah yang kami sampaikan di car free day. Di sana kami juga mengajak pengunjung untuk menjajal berbagai permainan yang kami bawa,’’ ujarnya
Lantaran tidak semua anggota Karang Taruna RT 4, RW 2, Kelurahan Simokerto, bisa aktif berkegiatan untuk Kampoeng Dolanan, Mustofa membuka pintu untuk para relawan. Dia mengumumkan gerakan Kampoeng Dolanan melalui berbagai channel media sosial.
’’ Tak disangka, yang ingin menjadi relawan banyak. Yang daftar lebih dari 100 orang. Tapi, sementara yang kami terima 60 orang,’’ kata anak kedua pasangan Sudarsono dan Hoszaimah itu.
Para relawan itu dibagi dalam berbagai divisi kerja. Ada Divisi Dolanan Rek, Divisi Data Center, dan Divisi Media serta Informasi. Program kerja divisi-divisi itu sudah berjalan. Misalnya, sekolah dolanan.
Program itu dijalankan bersama relawan dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Para relawan mengajak anak-anak dolanan sekaligus dikaitkan dengan pembelajaran di sekolah. ’’Pembelajaran di dalamnya seperti latihan-latihan pengerjaan soal atau tugas sekolah,’’ ucap Annisa Ayu Rahma, salah seorang relawan dari Unesa.
Ada juga program dolanan sambang kampung dan sekolah. Program itu memperkenalkan dan menanamkan nilai-nilai positif tentang permainan tradisional. ’’Baru saja tadi (di car free day) saya ketemu dengan pengurus karang taruna di Asemjaya (Asemrowo). Mereka minta kami mengadakan kegiatan di sana pada 26 Februari besok,’’ terang Mustofa.
Yang dilakukan Mustofa memang bukan yang pertama di Indonesia. Dia mengaku banyak belajar dari Zaini Alif, pendiri Komunitas Hong. Komunitas tersebut juga bergerak pada pelestarian permainan tradisional, namun berbasis di Bandung, Jawa Barat.
Meski begitu, Mustofa dan kawankawannya patut diapresiasi. Setidaknya mereka ikut menggerakkan semangat masyarakat, terutama orang tua yang punya anak kecil, agar tidak menyerah pada ketergantungan gadget.
Mustofa menyatakan, Komunitas Kampoeng Dolanan sebenarnya tidak anti permainan modern di gadget. Namun, mereka ingin menggabungkan sisi positif pada keduanya. ’’Yang tidak ada di gadget itu kan tentang sosialisasinya. Gadget sering kali membuat anakanak kurang bersosialisasi dengan sekitarnya,’’ ungkap alumnus Politeknik Elektronika Negeri Surabaya (PENS) itu.
Sosialisasi melalui komunikasi tatap muka, menurut Mustofa, merupakan hal yang baik untuk mendidik karakter anak. Anakanak yang sejak kecil kurang bersosialisasi dengan masyarakat cenderung kurang percaya diri ketika dewasa.
Saat ini, Komunitas Kampoeng Dolanan tengah menyiapkan proyek besar pertama mereka, yakni Festival Kampoeng Dolanan. Mereka juga tengah mencari jaringan untuk melobi PT Kereta Api. Tujuannya, perusahaan sepur itu menyediakan gerbong khusus sebagai museum edukasi permainan tradisional. Mustofa ingin gerbong tersebut ditempatkan permukiman warga yang tidak jauh dari lahan PT KAI di sekitar Simokerto. (*/c6/dos)