Tidak Gabung Koperasi, Pajak Angkot Lebih Mahal
SURABAYA – Ahmad Haris sudah tahu rencana pemkot yang mewajibkan pemilik angkutan umum kota (angkot) masuk koperasi. Namun, sopir angkot jurusan Wonokromo–Pagesangan tersebut masih ragu mengikuti anjuran itu. Begitu pula 46 sopir lain di trayek yang sama. ”Kalau masuk koperasi, mobil kami balik nama jadi milik koperasi,” terang pria yang berprofesi sopir angkot selama 18 tahun tersebut.
Maret nanti pemkot memberikan batas terakhir. Seluruh pemilik angkot harus tergabung dalam badan hukum. Minimal koperasi. Ancamannya, pemilik angkot tidak mendapatkan keistimewaan saat membayar pajak kendaraan bermotor. Sebab, selama ini angkot mendapat diskon 70 persen.
Haris lebih memilih membayar pajak kendaraan bermotor lebih mahal ketimbang mobilnya berganti nama. Dia membeli mobil Suzuki Carry yang penuh dempul seharga Rp 15 juta. Sementara itu, mobil dengan kondisi lebih baik yang dimiliki teman-temannya dihargai Rp 20 juta.
Kebijakan pemkot tersebut dianggap mencekik para pengusaha angkot. Sebab, selama ini penghasilan Haris menurun drastis. Mayoritas penumpang hanya pelajar dan orang tua. ”Sekarang semua punya roda dua,” lanjut Haris yang ditemui saat mencari penumpang di depan SMPN 32.
Kepala Dinas Perhubungan Irvan Wahyudrajad menerangkan, kebijakan itu bertujuan menegakkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Penyedia jasa angkutan umum harus dilaksanakan badan hukum. ”Karena itu, kami menganjurkan para pemilik angkot bergabung dengan koperasi,” ujar mantan Kabid lalu lintas tersebut.
Terdapat enam koperasi angkot yang dibentuk pada 2013. Namun, hanya satu yang berjalan. Itu pun hanya beranggota 45 orang. Padahal, saat ini terdapat 2.500 angkot yang aktif. ”Mayoritas memang sulit diajak bergabung. Sama seperti saat kami berdiskusi dengan jukir (juru parkir, Red) untuk masalah parkir meter. Tapi, akhirnya bisa,” jelasnya, yakin.
Kepala Dinas Koperasi dan Usaha Mikro Eko Haryanto mengungkapkan, banyak masyarakat yang belum tahu mengenai koperasi. Mereka cenderung takut menyertakan modal. ”Padahal, untung di koperasi dirasakan bersama,” paparnya. (sal/c16/oni)