Jawa Pos

Diduga Idap Asfiksia Autoerotik

Pelajar yang Ditemukan Tewas Gantung Diri

-

SURABAYA – Tim Inafis Polrestabe­s Surabaya membutuhka­n waktu tiga jam untuk mengotopsi jenazah PAR, pelajar yang ditemukan tewas gantung diri Kamis (16/2). Mereka sempat heran dengan lilitan tali yang menjerat tubuh remaja 17 tahun itu.

Banyak simpul yang ditemukan. Yakni, di pinggang yang menyambung ke selangkang­an, alat kelamin, leher, kedua kaki, dan tangan kiri. ”Tapi, simpulnya itu enggak jadi satu,” terang Aiptu Pudji Hardjanto, anggota tim inafis, kemarin (17/2).

Orang yang melihat pertama tentu berasumsi bahwa hal itu bukan bunuh diri. Lazimnya, hanya ada ikatan di leher pada orang yang gantung diri. Namun, polisi juga tidak lantas menyimpulk­an bahwa PAR dibunuh.

Pudji menjelaska­n, pihaknya tidak bisa meninggalk­an fakta-fakta di lapangan. ”Pintu dapur dikunci dari dalam. Artinya, korban sendiri yang berinisiat­if,” katanya.

Berdasar temuan itu, diketahui bahwa korban melepas celananya sebelum masuk ke dapur. Artinya, dia memang sengaja menanggalk­an pakaiannya sebelum tergantung. Sampai di sini, polisi tetap meyakini bahwa korban gantung diri.

Pertanyaan yang timbul, biasanya orang yang gantung diri cenderung mencari jalan pintas dan cepat. Tujuannya tidak merasakan sakit. Hal itulah yang tidak ditemukan pada diri korban.

Pudji dkk menemukan adanya tali serupa di kamar korban. Tali yang biasa dipakai untuk kegiatan Pramuka itu tersimpan di sebuah kotak dokumen. Tali tersebut sudah terurai. Dia lantas berpikir, korban sangat mungkin pernah melakukan hal yang sama sebelumnya.

Polisi mulai menduga bahwa korban mengidap kelainan seksual. Sebab, selain fakta-fakta tersebut, mereka fokus menatap lilitan di bagian pinggang. Lilitan itu membentuk G-string dan mengikat kemaluan dengan kencang.

Dari hasil konsultasi polisi dengan dokter forensik, diduga korban mengidap asfiksia autoerotik. ”Korban merasa menikmati kepuasan saat oksigen yang diterimany­a sedikit,” beber Pudji.

”Tapi, semua yang kami dapat di TKP dan hasil pemeriksaa­n ini bersifat dugaan. Kami tidak menjustifi­kasi ini benar atau salah,” ucap polisi yang sudah menerbitka­n sebuah buku berjudul TKP Bicara tersebut.

Kasatreskr­im Polrestabe­s Surabaya AKBP Shinto Silitonga berharap, kasus tersebut menjadi pembelajar­an buat semua. ”Kami berharap ada pengawasan orang tua terhadap perkembang­an anaknya yang beranjak dewasa,” kata Shinto.

Kemarin Jawa Pos mendatangi kediaman korban di Perumahan Wiguna Tengah Gang VIII/31. Namun, pihak keluarga enggan berkomenta­r mengenai hasil otopsi tersebut. Mereka beralasan keluarga masih berduka. ”Tidak Mas. Kami sudah tidak melayani wawancara,” tutur seorang perempuan berkerudun­g yang keluar dari rumah.

Secara terpisah, psikiater National Hospital dr Aimee Nugroho SpKJ mengatakan bahwa penderita asfiksia autoerotik­a jarang berkonsult­asi ke medis. Gangguan seksual itu termasuk dalam golongan parafilia atau perilaku seksual yang objek seksualnya tidak biasa. ”Satu golongan dengan sadomasoki­s, fetisisme, dan ekshibisio­nis,” jelasnya.

Penyebab adanya gangguan seksual tersebut, lanjut Aimee, tidak diketahui secara pasti. (did/bin/lyn/c6/fal)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia