Perkampungan Alami Jadi Daya Tarik
’’ AYO naik, ayo naik,’’ teriak Heriyanto dari geladak kapal kayu yang mengapung di Pelabuhan Taman Korem, Pontianak, Kalimantan Barat, pada sebuah sore. Taman Korem adalah salah satu pelabuhan di Sungai Kapuas. Pria asal Jawa yang sudah 30 tahun tinggal di Pontianak itu menawarkan wisata susur Sungai Kapuas kepada orang-orang yang tengah pelesiran di taman tersebut.
Di Pelabuhan Taman Korem, ada delapan kapal kayu yang setiap hari melayani traveler yang ingin menyusuri sungai terbesar di Kalimantan Barat itu. Waktunya tak terhingga, bisa sampai malam. Kapal-kapal tersebut harus mengantre dan tak diperkenankan berebut penumpang.
Kapal yang dikemudikan Heriyanto terbuat dari kayu ulin yang cukup besar. Panjang kapal mencapai 16 meter dan terdiri dari dua tingkat. Tingkat pertama, di bagian utama kapal, tersedia kafe kecil serta puluhan kursi dan meja. Penumpang bisa berwisata sambil menikmati makanan dan minuman. Selain itu, ada monitor dan seperangkat audio. Selagi kapal berjalan, penumpang dihibur tayangan musik dangdut.
Tingkat kedua adalah ruangan terbuka dengan puluhan kursi plastik. Mau berlayar sambil menikmati pemandangan dan angin sepoisepoi, di situ tempatnya. Kapal tersebut mampu menampung 150 penumpang. ’’Selama ini aman-aman saja,’’ ujar Heriyanto.
Wisata susur sungai itu memang cukup diminati. Baik traveler dari luar daerah maupun warga setempat. Tarifnya pun terjangkau, yaitu Rp 15 ribu per orang. Heriyanto menyebutkan bahwa penghasilan dari jasa wisata tersebut lumayan. ’’Hasil wisata menjanjikan,’’ ucapnya.
Dia menuturkan, kapal paling ramai pada Sabtu, Minggu, dan hari libur. Penumpang berdatangan dari berbagai daerah dan luar negeri. Wisata itu sudah menjadi komoditas wisata di Pontianak. Meski kapal-kapal tersebut adalah milik perorangan, seluruhnya dipantau dinas pariwisata dan dinas perhubungan. Jadi, standar keamanannya terjaga.
Kapal wisata susur sungai menempuh jarak 10 kilometer pergi pulang. Berangkat dari Pelabuhan Taman Korem hingga Jembatan Kapuas, lalu kembali ke pelabuhan. Selama perjalanan, penumpang bisa melihat perkampungan penduduk di kanan-kiri sungai. Perkampungan itu masih alami. Rumah-rumahnya terbuat dari kayu dan beratap seng.
Penumpang juga dapat mengamati kesibukan penghuni. Di antaranya, mencuci, mandi, dan memasak di dapur. Anak-anak menjebur ke sungai dan berenang dengan riang. Sementara itu, para remaja Kota Pontianak memanfaatkan sungai untuk bermain kano.
Tempat penyeberangan dengan feri atau sampan terlihat di beberapa titik. Untuk sekali menyeberang, sampan mematok tarif Rp 2 ribu. Biasanya, pengguna sampan adalah warga yang ingin berbelanja di ’’kota baru’’. Di sana, terdapat pasar, mal, dan lain-lain.
Salah satu hal menarik dari wisata tersebut, penumpang dapat menyaksikan Masjid Sultan Syarif Abdurrahman. Masjid peninggalan Kesultanan Pontianak itu kerap disebut Masjid Jami’ Pontianak. Bangunan berwarna hijau dan bergaya ala Masjid Demak tersebut dibangun pada 1771. Dua tahun kemudian, dibangun Istana Kadriah Kesultanan Pontianak. Dua peninggalan itu menandai berdirinya Kota Pontianak.
Gambaran kehidupan yang sering dianggap tradisional tersebut memanjakan mata wisatawan selama menyusuri Kapuas. Angin kencang menerpa. Ombak sungai kian terasa. Suara benturan air dan perut kapal juga terasa. Terpaan angin bisa menghambat laju perahu. Tak terasa, kapal Heriyanto telah merapat di Pelabuhan Taman Korem.
Para penumpang berhamburan dari kapal dengan wajah puas dan senang. Mereka (dan juga saya) begitu menikmati sepenggal perjalanan di sungai sepanjang 1.143 kilometer itu. ’’Kalau mau menyusuri sungai ini dari ujung ke ujung, butuh waktu seminggu,’’ jelas Heriyanto. Hmm.., sepertinya worth it... (*/c18/na)