KPU RI Pasang Badan di MK
KPU RI memastikan tidak akan membiarkan KPU daerah menghadapi sengketa gugatan hasil pilkada di Mahkamah Konstitusi (MK) sendirian. Sebaliknya, KPU akan memberikan pendampingan hukum kepada jajarannya di daerah.
”KPU RI sebagai penanggung jawab akhir tentu akan mendampingi semua daerah yang sengketa,” kata Komisioner KPU Ida Budhiati di kantor Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), Jakarta, kemarin (26/2). Pendampingan tersebut, lanjut dia, tidak hanya dilakukan dalam sidang sengketa hasil, melainkan sejak sengketa pencalonan di pengadilan lalu.
Ida menjelaskan, pihaknya juga akan menerapkan sistem satu pintu dalam menghadapi sengketa di MK. Dengan demikian, KPUD tidak diperkenankan untuk langsung berhadapan dengan MK. ”Kami tidak izinkan mereka blusukan ke MK sendiri,” imbuh Ida saat dikonfirmasi mengenai 11 gugatan sengketa hasil pilkada yang telah masuk ke MK.
Hal itu dilakukan guna memastikan semua langkah yang diambil KPU terkonsolidasi dengan baik. Dengan begitu, tidak terjadi silang sengketa maupun miskomunikasi di internal penyelenggara.
Ida mengatakan tidak mempersoalkan banyak atau tidaknya jumlah gugatan yang masuk. Meski lebih suka tidak berlanjut ke MK, secara kelembagaan pihaknya menghargai langkah tersebut. Menurut dia, upaya jalur hukum jauh lebih elegan jika dibandingkan dengan menggerakkan massa untuk melakukan aksi yang melanggar ketentuan.
Anggota Komisi II DPR Achmad Baidowi mengatakan, pengajuan gugatan hasil pilkada merupakan hak setiap calon yang merasa dirugikan. ’’Namun, harus memenuhi syarat dan ketentuan dalam pengajuan,’’ jelas Wasekjen DPP PPP itu saat dihubungi Jawa Pos kemarin.
Ketentuan gugatan MK sudah diatur dalam pasal 153 UndangUndang Pilkada. Yaitu, adanya selisih suara. Sebagai contoh, kata dia, untuk provinsi yang mempunyai 2 juta penduduk, gugatan bisa diajukan ke MK jika maksimal selisih perolehan suara calon 2 persen.
Sementara itu, untuk provinsi yang mempunyai 2–6 juta penduduk, maksimal selisih suara 1,5 persen. Untuk provinsi dengan 6–12 juta penduduk, maksimal selisih suara 1 persen dan provinsi yang memiliki penduduk di atas 12 juta, maksimal selisih suaranya 0,5 persen. ’’Aturannya sangat jelas. Calon yang tidak puas bisa mempelajari undang-undang yang ada,’’ terang Awiek, sapaan akrab Achmad Baidowi. Dia juga mengingatkan kepada hakim MK agar profesional dalam menyidangkan kasus sengketa pilkada. Jangan sampai ada hakim yang bermain mata. Yakni, memenangkan calon karena ada iming-iming uang. Kasus yang menjerat mantan Ketua MK Akil Mochtar menjadi pelajaran bagi semua hakim yang menangani perkara pilkada. Kasus yang menyeret nama Patrialis Akbar juga bisa menjadi pelajaran meski tidak terkait dengan pilkada.
Agar praktik suap tak terjadi lagi, dia meminta hakim tidak menemui pihak beperkara. Dengan adanya kasus sebelumnya, kepercayaan masyarakat mulai luntur. ”Ketua MK harus berupaya memulihkan kepercayaan itu, bekerja secara profesional dan memutuskan perkara secara adil,’’ tandasnya. (far/lum/c7/fat)