Jangan Gampang Penjarakan Orang
JAKARTA – Kerusuhan di Lapas Kelas II-A Jambi (1/3) membuktikan adanya masalah dalam pengelolaan lapas. Pemerintah harus segera mengevaluasi manajemen lapas dan menata sirkulasi narapidana agar overkapasitas tidak menjadi persoalan berkelanjutan.
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus A.T. Napitupulu menjelaskan, selain pengelolaan lapas, ketentuan hukum pidana menjadi persoalan yang perlu dievaluasi
Saat ini aturan perundang-undangan tanah air masih berorientasi memenjarakan pelaku. ”Kenapa overkapasitas? Karena overkriminalisasi. Kenapa overkriminalisasi? Karena negara suka memenjarakan,” katanya kemarin (3/3).
Erasmus yakin overkapasitas lapas segera tuntas bila tidak terjadi overkriminalisasi. Keberadaan Direktorat Jenderal Peraturan Perundangan-undangan (Ditjen PP) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia semestinya bisa menyelesaikan persoalan itu. ”Bagi kami, persoalan overkapasitas (mesti) dipikirkan dari Ditjen PP. Tidak sekadar jadi urusan Ditjenpas,” ujarnya.
Berdasar hasil penelitian ICJR, saat ini seluruh ancaman pidana naik. Itu berlaku dalam undangundang (UU) maupun rancangan UU. Karena itu, terjadi overkriminalisasi. ”UU-nya membolehkan (memenjarakan pelaku tindak pidana, Red),” kata Eras, sapaan Erasmus.
Sebagian besar penghuni lapas saat ini berlatar belakang kasus narkotika. Setengah di antaranya adalah pengguna dan pecandu narkotika. Nah, Ditjen PP punya tanggung jawab berkaitan dengan kondisi tersebut. Eras mempertanyakan mengapa Ditjen PP meloloskan UU yang dengan mudah memenjarakan pengguna dan pecandu narkotika.
”Kejahatan yang pelakunya tidak perlu ditahan dan dipenjara tetap dimasukkan (ke dalam lapas, Red),” ujarnya. Selain kasus narkotika, penghuni lapas yang kena pasal penghinaan pun wajib menjadi perhatian pemerintah. Meski jumlahnya sedikit, tetap ada pengaruh terhadap overkapasitas lapas.
Eras berharap besar pihak terkait segera berbenah. Mereka wajib memastikan setiap orang yang dikirim ke dalam penjara menerima hukuman tersebut. ”Patut dirampas kemerdekaannya,” ucap dia. Eras mendesak pemerintah menjadikan lapas sesuai dengan namanya. ”Namanya memang lapas. Tapi, tujuannya bukan untuk pemasyarakatan. Masih untuk menghukum,” cetusnya.
Tidak heran, banyak penghuni lapas yang merasa tidak betah. Sebab, perlakuan pemerintah kepada mereka masih dipertanyakan. Riset ICJR dua tahun lalu menunjukkan bahwa setiap penghuni lapas dijatah Rp 5 ribu untuk tiga kali makan dalam sehari. Angkanya sangat kecil.
Mantan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Handoyo Sudrajat mengakui bahwa manajemen lapas cukup rumit. Ditjenpas tidak memiliki kewenangan dasar untuk mengelola lapas dan rutan. Mulai sumber daya manusia, anggaran, hingga sarana dan prasarana. Kondisi itu yang membuatnya mundur dari jabatan tersebut pada 2015.
Handoyo mengisyaratkan bahwa pihak terkait yang menguasai masalah terkini tentang dunia pemasyarakatan yang mestinya memberikan masukan untuk reformasi lapas dan rutan. ”Rasanya kurang etis karena sudah di luar (dunia pemasyarakatan, Red) kok masih sok tahu (soal lapas dan rutan),” katanya kepada Jawa Pos kemarin. (syn/tyo/c9/ca)