Tahanan Lebih Bebas di Lapas Terbuka
Khusus Napi yang Sudah Jalani 2/3 Hukuman
MALANG – Problem overkapasitas di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas I Lowokwaru yang mencapai 1.133 narapidana sedikit demi sedikit berkurang. Kementerian Hukum dan HAM kini menyediakan penjara baru di Dusun Ubalan, Desa Maguan, Kecamatan Ngajum, Kabupaten Malang.
Penjara yang dibangun di lahan 20 hektare tersebut berkonsep penjara terbuka. Tidak ada pengamanan maksimal. Narapidana boleh keluar penjara dan bergaul dengan warga kampung. Tidak hanya itu, jam besuk keluarga napi juga tidak dibatasi.
Pagar yang mengelilingi penjara tersebut tidak terlalu tinggi. Tidak lebih dari 2 meter. Tinggi pagar temboknya hanya 30 sentimeter. Sisanya adalah pagar kawat tanpa jeruji. Terlalu mudah bagi napi jika ingin meloncat keluar.
Kepala Lapas Kelas I-A Malang Krismono menjelaskan, lapas terbuka tersebut diperuntukkan napi yang menjalani 2/3 dari masa hukuman. Untuk sementara, penjara itu berkapasitas 50 penghuni dengan delapan kamar. ”Saat ini baru ada sebelas napi yang menghuni lapas terbuka tersebut,” terangnya yang mengunjungi lapas itu bersama Jawa Pos Radar Malang kemarin (3/3).
Krismono menambahkan, penghuni lapas di dekat kawasan Gunung Kawi tersebut mendapatkan pelatihan khusus mengenai cara bertani dan beternak. Karena itu, ada lahan pertanian yang cukup luas plus kandang sapi yang dikelola penghuni lapas. Selain itu, lapas tersebut hanya diperuntukkan bagi napi selain kasus korupsi, terorisme, dan narkoba.
Sementara itu di Mojokerto, masalah overload lapas belum tertangani. Lapas Kelas II-B Mojokerto dikhawatirkan rusuh jika pengelolaan warga binaannya tidak berjalan adil dan maksimal. Pasalnya, lapas yang berdiri pada 1918 itu mengalami overcapacity jumlah napi sejak beberapa tahun terakhir.
Total penghuni lapas kini mencapai tiga kali lipat dari jumlah ideal. Kondisi tersebut wajib diantisipasi pihak lapas karena berpotensi terjadi kerusuhan yang disebabkan ketidaklayakan bangunan.
Dari data yang dihimpun Jawa Pos Radar Mojokerto, jumlah penghuni lapas, baik tahanan maupun napi, mencapai 612 orang. Jumlah terbanyak berasal dari kasus narkoba, yakni 243 napi. Mereka menempati empat blok yang terdiri atas 32 kamar dan empat sel. Padahal, bangunan yang berdiri di atas lahan seluas 7.372 meter persegi itu sejatinya hanya mampu menampung 260 warga binaan.
Menanggapi persoalan tersebut, Kalapas Mojokerto Muhammad Hanafi mengakui, lembaga yang dipimpinnya memang tidak layak ditempati napi sebanyak itu. Pasalnya, lapas bukan hanya sebagai tempat penghukuman bagi pelaku tindak kriminal, tapi juga tempat pembinaan mental dan keterampilan sebagai modal selepas masa hukuman. Hal tersebutlah yang saat ini belum berjalan maksimal karena kondisi yang tidak layak.
Hanafi mencontohkan bengkel keterampilan sepatu, las, dan neon box. Tidak semua napi bisa mengikuti keterampilan itu. ’’ Ya jelas terbatas. Kami punya bengkel keterampilan yang kecil dan tidak cukup diikuti semua napi,’’ ujarnya.
Meski demikian, Hanafi terus berupaya meminimalkan situasi lapas dari potensi kerusuhan dengan berbagai cara. Salah satunya, memperbanyak siraman rohani untuk melatih emosi warga binaan. Selain itu, pihaknya memperketat pengawasan dan penjagaan, terutama kepada pembesuk. Sebab, tidak dimungkiri peluang munculnya keributan antarnapi tak lepas dari pengaruh pembesuk.
Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, Lapas Mojokerto memberlakukan aturan ketat dengan mengadakan penggeledahan empat lapis selama masa besuk. ’’Ada empat kali penggeledahan. Yang tidak boleh dibawa pembesuk saat bertemu napi adalah dompet dan HP. Sebab, potensi kerusuhan lebih besar dipengaruhi dua benda tersebut,’’ tambahnya.
Mantan Kalapas Bondowoso itu juga terus berupaya memberikan hak dan kewajiban napi selama menjalani masa hukuman. (abm/far/abi/c16/c22/fal)