Telinga Kotor, Pendengaran Jadi Drop
SURABAYA – Hari Telinga dan Pendengaran diperingati serentak di Indonesia kemarin ( 3/ 3). Peringatan itu memunculkan kewaspadaan bahwa problem pendengaran masih banyak dialami. Salah satu pemicunya sepele. Yakni, kebersihan telinga.
Kemarin ratusan anak datang ke RSAL dr Ramelan. Tujuannya adalah menghadiri baksos bersih telinga. Di acara yang diselenggarakan Rotary Club of Surabaja dan RSAL dr Ramelan tersebut, hampir seluruh anak memiliki masalah dengan kebersihan telinga
Dokter spesialis THT sekaligus Presiden Rotary Club of Surabaja Laksma TNI (pur) dr Sulantari SpTHT-KL menuturkan, program itu dilakukan dalam rangka mencegah gangguan pendengaran, khususnya terhadap anak-anak. Sebab, pemerintah pusat menargetkan, pada 2030 semua penduduk Indonesia harus bisa mendengar. ’’Semua negara sudah melaksanakan program Sound Hearing 2030 itu,’’ tuturnya.
Dia menjelaskan, kebersihan telinga menjadi masalah nomor satu penyebab gangguan dengar. Kotoran di liang telinga mengakibatkan penurunan tingkat suara hingga 30 desibel. Padahal, rata-rata orang berbicara pada tingkat kekerasan 60 desibel. Artinya, kalau telinga kotor, suara orang hanya terdengar ’’separo volume’’. ’’Menumpuknya serumen atau kotoran telinga tidak hanya dialami anak-anak, tapi juga lansia,’’ jelasnya.
Pada anak-anak, penumpukan serumen disebabkan liang telinga yang masih sempit. Pada lansia, biasanya penyebabnya adalah kulit di liang telinga sudah kering. Banyaknya serumen itu juga terjadi karena telinga terlalu sering dibersihkan. Setidaknya bersihkan serumen tiga bulan sekali. Makin sering dibersihkan akan memicu timbulnya kotoran tersebut. ’’Membersihkannya harus dilakukan dokter umum atau spesialis THT,’’ ujarnya. Tujuannya adalah mengetahui letak kotoran dan tingkat keparahan. Sebenarnya awam bisa membersihkan kotoran secara mandiri. Namun, sebelumnya harus dipastikan bahwa tidak ada tumpukan kotoran di liang telinga. Cara membersihkannya pun menggunakan cotton bud berukuran kecil yang diolesi baby oil dan mengoreknya harus ke arah luar. ’’Jika keliru, khawatir kotoran akan makin masuk ke dalam,’’ katanya.
Penyebab kedua adalah infeksi telinga tengah. Pasien yang menderita penyakit itu akan mengeluarkan cairan dari dalam telinga. ’’Jika sudah keluar cairannya, berarti sudah infeksi dan tergolong parah,’’ terangnya. Fenomena tersebut, menurut Sulantari, tidak hanya terjadi di pedesaan. Belum lama ini, dia mempunyai pasien dari golongan orang berada di Surabaya yang mengalami kejadian tersebut. Awalnya hanya batuk pilek. ’’Penyebab ketiga adalah faktor kebisingan,’’ ungkap Sulantari.
Di kota besar seperti Surabaya, masalah kebisingan sering diabaikan. Misalnya saja, bising di tempat hiburan atau pabrik. Dia menyayangkan pengawasan tingkat kebisingan di Surabaya belum terlalu masif. Yang menjadi keprihatinan, di beberapa sekolah kejuruan belum terdapat standar yang pasti. ’’Misal, siswa SMK yang bagian mesin memotong besi dengan gerinda tanpa menutup telinga,’’ tuturnya.
Efek terpapar kebisingan memang tidak bisa dirasakan satu hingga dua tahun. Biasanya, pasien mulai merasakan setelah lima tahun terpapar. Itu pun biasanya tidak disadari. ’’Tahunya ketika ada orang lain yang protes karena harus berbicara keras,’’ terang Sulantari.
Yang keempat adalah gangguan pendengaran terhadap bayi atau kelainan konginetal. Penyebabnya, virus torch ( toxoplasmosis, rubella, cytomegalovirus, and herpes simplex virus) yang menyerang saat anak berada di dalam kandungan. Karena itu, lanjut dia, saat mengandung, ibu hamil harus selalu terkontrol selama kehamilan. Penyebab yang terakhir adalah usia lanjut. (lyn/c14/dos)