Nasib Siswa Belum Jelas
SURABAYA – Nasib siswa SMA/SMK yang tak mampu membayar SPP masih terkatung-katung. Wali Kota Tri Rismaharini sudah bersurat ke Gubernur Jatim Soekarwo pada 8 Februari. Tapi, hingga kini, surat berisi data siswa tak mampu itu tak juga direspons.
Surat pertama berisi 11.038 siswa tak mampu. Wali Kota mengirim surat kedua pada 21 Februari. Surat tersebut berisi tambahan data siswa tak mampu sebanyak 786. Dengan demikian, total siswa miskin yang dilaporkan mencapai 11.824. Meski wali kota sudah dua kali berkirim surat, masih belum ada respons dari pemprov
Anggota Komisi D DPRD Surabaya Reni Astuti berharap pemprov segera menjawab. Sebab, wali murid yang sudah didata sudah merasa bahwa sekolah anak mereka akan gratis. ”Otomatis, warga yang didata merasa akan dibayari pemkot. Padahal belum tentu,” ujar Reni.
Dia mendapat sejumlah laporan dari kepala sekolah, khususnya SMK. Banyak wali murid yang enggan membayar karena merasa akan dibayari pemkot. Sekolah akhirnya terpaksa meminjam uang dari koperasi untuk menutupi biaya operasional yang seharusnya di-cover SPP.
Sebelum kewenangan SMA/ SMK beralih ke provinsi pada 2017, pemkot menerapkan pendidikan gratis 12 tahun. Dengan begitu, provinsi tidak pernah menganggarkan bantuan bagi siswa Surabaya. Karena itulah, pemkot mengirimkan data siswa miskin ke provinsi. Harapannya, wali murid yang tak mampu mendapat jatah bantuan yang sama dengan daerah lain.
Selain meminta pemprov proaktif, Reni mempertanyakan tujuan pendataan oleh pemkot. Jumlah siswa yang didata terkesan sengaja dibuat banyak. Saat melakukan pendataan awal, para lurah hanya mendapat 6.000 siswa. Pemkot melakukan verifikasi ulang dengan alasan ada siswa mampu yang masuk daftar tak mampu. Secara logika, jumlah siswa yang diverifikasi bakal merosot. Namun, jumlahnya justru menjadi dua kali lipat. ”Apakah ini salah satu upaya untuk mendesak gugatan ke MK?” tanya Reni.
Reni menunjukkan salah satu data yang diverifikasi. Kelurahan Tambaksari misalnya. Saat pendataan pertama, jumlah siswa tak mampu awalnya nol. Namun, pada pendataan kedua, didapatkan data 234 siswa. Sedangkan di daerah Tembok Dukuh, jumlah awal siswa miskin yang didata hanya 30. Setelah diverifikasi menjadi 226.
Reni melontarkan pertanyaan itu karena surat yang dikirimkan ke gubernur juga ditembuskan ke menteri dalam negeri (Mendagri) serta menteri pendidikan dan kebudayaan (Mendikbud). Bila upaya pendataan hanya dilakukan untuk kepentingan meloloskan gugatan ke MK, Reni menilai pemkot tidak bijak. Sebab, secara aturan, pemkot sebenarnya diperbolehkan membantu siswa miskin. ”Sayangnya, itu tidak dilakukan,” kata dia.
Wali kota juga mengeluarkan surat pada 24 Februari. Isinya menerangkan bahwa pemkot tidak lagi menangani pembiayaan SMA/SMK. Seluruh kewenangan beralih ke provinsi.
Kabag Kesra Imam Siswandi menerangkan, surat tersebut dilayangkan karena banyak surat yang masuk ke meja wali kota. ”Kami ingin mengingatkan ke masyarakat bahwa kewenangan sudah beralih,” kata mantan camat Kenjeran tersebut.
Dia menyatakan, saat ini pemkot masih menunggu keputusan dari pemprov. Soal apakah pemkot akan menganggarkan bantuan, dia menunggu instruksi Risma.
Kondisi di sekolah memang menunjukkan bahwa tak semua siswa membayar SPP. Kepala SMKN 12 Abdul Rofiq mengungkapkan, dari total 2.418 siswa SMKN 12, baru sekitar 50 persen yang lunas membayar SPP bulan Maret.
Rofiq menuturkan, selain belum membayar SPP Maret, beberapa siswa tercatat nunggak mulai Januari. ”Rata-rata orang tua belum sanggup membayar. Jadi mau gimana lagi?” jelasnya.
Sekolah telah mengajukan beberapa nama siswa tak mampu untuk mendapatkan bantuan dari Pemprov Jatim. Rofiq menyatakan, di SMKN 12, jumlahnya mencapai 428 siswa. Namun, hingga kini bantuan tersebut belum dicairka n. ” Kami juga tidak tahu, apakah sekolah kami termasuk yang tercatat dalam penerima bantuan,” jelasnya.
Di SMKN 12, ada dua tipe besaran SPP yang harus dibayarkan kepada sekolah. Yakni, Rp 175 ribu untuk jurusan nonteknik dan Rp 215 ribu untuk juru sa n teknik. Perbedaan tersebut seusai dengan ketentuan Provinsi Jawa Timur.
Karena itu, sekolah kini hanya dapat mengandalkan dana bantuan operasional sekolah (BOS) dari pemerintah pusat. ”Untuk operasional, kami juga harus memilah. Mana yang urgen dan tidak agar dananya pas,” terangnya. (sal/elo/c10/dos)