Penjara tanpa Penjahat
SAAT di negeri kita sedang ribut-ribut tentang penjara yang terus penuh sesak, Belanda menikmati hal yang sebaliknya. Bui di Negeri Kincir Angin itu kekurangan penghuni. Jumlah orang jahat enggak cukup untuk mengisi sel-selnya.
Akhir tahun lalu, Kementerian Hukum mengeluarkan data bahwa tren angka kejahatan di negeri itu cenderung turun. Nyaris 1 persen per tahun. Sehingga sekitar sepertiga isi penjara melompong. Dalam beberapa tahun terakhir, tak kurang dari 20 penjara ’’gulung tikar’’.
Hal tersebut berbanding terbalik dengan kondisi Indonesia. Nyaris seluruh penjara kelebihan daya tampung. ’’Minat’’ orang masuk penjara masih sangat tinggi. Sehingga kamarkamar hotel prodeo selalu diisi berjejal-jejal tahanan atau narapidana.
Akibatnya tak bisa dimungkiri. ’’Servis’’ kurang memadai. Tingkat stres dan tensi di dalam bui sangat tinggi. Gesekan sedikit bisa memunculkan api.
Spirit memenjarakan orang dengan membatasi kebebasan-kebebasannya memang sudah berlangsung begitu lama. Meski masih dianut di banyak negara, pemenjaraan itu sejatinya merupakan bentuk hukuman yang kuno. Terlebih hanya menjebloskan begitu saja orang-orang dalam suatu tempat dengan pembatasan kemerdekaan.
Memang, penjara di Indonesia dilabeli sebagai lembaga pemasyarakatan. Tapi, prinsip pemasyarakatan itulah yang rasanya kurang. Kentara sekali bahwa pelaku kejahatan sedang ’’dijauhkan dari masyarakat’’. Lalu, di mana pemasyarakatannya?
Mengaca pada Belanda, sistem hukum negeri itu tidak serta-merta melakukan pemenjaraan pada pelaku kejahatan yang tak mengakibatkan korban. Vonis pendek, fokus pada program keterampilan, dan pembauran kembali dengan masyarakat.
Itu mungkin bisa diterapkan di negeri ini. Bahwa tidak semua kejahatan atau pelanggaran hukum harus berakhir dengan pemenjaraan. Kesalahan-kesalahan ringan bisa dihukum dengan denda atau kerja sosial ( community
service) dengan pemenuhan kewajiban tertentu. Dengan demikian, orang tidak ’’melenggang begitu saja’’ saat terkena hukuman percobaan, misalnya. Tetap ada kewajiban yang harus mereka lakukan untuk negara terkait dengan kesalahan mereka.
Pembatasan kemerdekaan yang lebih ketat bisa diterapkan untuk kejahatan yang membahayakan, menimbulkan korban, perlu efek jera, dan dilakukan residivis. Selain itu, yang dibutuhkan adalah rehabilitasi, pembinaan keterampilan, serta sumbangsih sosial.
Kalau tak semua kejahatan berakhir di bui, niscaya penjara tak akan penuh sesak. Gesekan pada penghuni penjara yang kurang woles dan kurang piknik pun dapat dihindari. (*)