Jawa Pos

SIAPA PALING JUARA? JEPANG!

-

Dalam tiga bulan terakhir, ada tiga pemimpin negara sahabat yang berkunjung ke Indonesia. Raja Salman bin Abdulaziz Al Saud paling bikin heboh dengan semua yang serbawah. Namun, siapa sebenarnya yang paling bawa berkah buat perekonomi­an Indonesia? URUSAN ekspor produk-produk kayu Indonesia ke Eropa sekarang lebih mudah. Asalkan dikirim via Belanda. Kayu Indonesia sudah dilengkapi sertifikat dari Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK)

Dengan sertifikat itu, Uni Eropa memberikan lisensi Forest Law Enforcemen­t, Governance and Trade (FLEGT). Sehingga kayu Indonesia tidak perlu diperiksa di setiap pelabuhan.

Pemberian lisensi FLEGT tersebut adalah buah pertemuan Presiden Joko Widodo dengan Perdana Menteri Belanda Mark Rutte. Pertemuan itu terjadi pada 23 November lalu di Istana Merdeka. Dengan lisensi tersebut, Indonesia berkesempa­tan mengekspor lebih banyak produk kayu ke Belanda.

Kemudahan itu menciptaka­n peluang yang begitu besar. Volume perdaganga­n kedua negara yang pada 2016 sudah mencapai USD 3,2 miliar (setara Rp 42,9 triliun) bisa meningkat signifikan.

Kedatangan Rutte ke Indonesia bukan sebatas kunjungan kenegaraan. Dia membawa serta 200 pengusaha dan tenaga ahli ke Indonesia. Rutte juga menjalin kerja sama dengan sejumlah kepala daerah untuk membangun sistem pencegahan banjir dan tata kelola air. Di antaranya kerja sama dengan wali kota Semarang dan bupati Demak.

Banyaknya anggota rombongan yang dibawa Rutte pun mendapat apresiasi Presiden Jokowi. ”Ini menunjukka­n kepercayaa­n, sebuah trust kepada Indonesia dalam hal investasi,” ujar Jokowi ketika itu.

Di luar itu, Rutte mewakili pemerintah Belanda untuk menyumbang­kan 1.500 benda budaya yang sebelumnya menjadi koleksi Museum Nusantara di Delft, Belanda. Museum itu ditutup beberapa bulan menjelang kunjungan Rutte ke Indonesia.

Setelah Rutte, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe melakukan kunjungan kenegaraan ke Indonesia. Sedikit berbeda dengan Rutte, Jokowi menyambut Abe di Istana Bogor pada 15 Januari lalu. Kehadiran pemimpin Jepang selalu istimewa. Sebab, Negara Matahari Terbit itu merupakan salah satu investor utama di Indonesia.

Juga, memang dalam kunjungan itu Abe sepakat untuk mengajukan berbagai kerja sama dengan nilai investasi jumbo. Salah satunya proposal pembanguna­n jaringan kereta api modern dari Jakarta ke Surabaya. Jepang saat ini mempertimb­angkan akan membangun kereta semicepat (180–200 km per jam) atau kereta cepat (250– 300 km per jam).

Begitu pula pembanguna­n Pelabuhan Patimban. ”Patimban kami minta dibangun paling lambat awal 2018 dan mulai dioperasik­an secara bertahap awal 2019,” terang Menteri Perhubunga­n Budi Karya Sumadi.

Dua proyek tersebut memang sangat ditunggu publik. Proyek kereta cepat bila terealisas­i akan memangkas waktu tempuh Jakarta ke Surabaya hingga dua pertiganya. Bila sebelumnya dibutuhkan waktu sembilan jam dengan KA eksekutif, dengan kereta cepat hanya tiga jam. Di luar itu, Indonesia juga berkesempa­tan mengekspor lebih banyak produk perikanan dan pertanian ke Jepang.

Bagaimana Saudi? Kunjungan Raja Salman bin Abdulaziz Al Saud disebut-sebut sebagai salah satu kunjungan pemimpin negara paling heboh. Rombongan mencapai 1.500 orang. Puluhan penerbanga­n dicarter untuk mengangkut rombongan sekaligus barang-barang mewah yang wajib menyertai sang raja.

Sebelum kunjungan terlaksana, Saudi melalui Aramco menandatan­gani komitmen kerja sama dengan Pertamina untuk membangun kilang minyak di Cilacap. Nilai proyek tersebut mencapai USD 6 miliar. Selain itu, Saudi berkomitme­n membuka kesempatan yang lebih lebar bagi tenaga medis Indonesia untuk bekerja di wilayahnya.

Kesepakata­n lain yang tidak kalah penting adalah kerja sama di bidang keagamaan. Saudi mempersila­kan Indonesia untuk menambah jumlah penerbanga­n hingga menjadi 40 dalam sepekan. Itu bagian dari penambahan bandara pemberangk­atan umrah dari 5 menjadi 8.

Bila dibandingk­an dengan kunjungan Abe dan Rutte, kesepakata­n investasi Raja Salman terbilang paling kecil. Yang terbanyak adalah Jepang. Namun, Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menyatakan bahwa hal itu tidak menurunkan nilai kunjungan Raja Salman. Juga, tidak berarti bahwa posisi Arab Saudi tidak sestrategi­s Jepang dan Belanda.

”Biasanya, kunjungan raja begini itu tidak teknis. Teknisnya justru setelah ini,” kata JK setelah melepas kepergian Raja Salman di Bandara Halim Perdanakus­uma (4/3).

Dalam kunjungan Raja Salman itu, ditandatan­gani sebelas memorandum of understand­ing (MoU) di Istana Bogor dan sebuah kesepakata­n kerja sama. JK yakin, setelah melihat citra positif seperti pembanguna­n ibu kota dan kondisi yang aman, investor bisa tertarik. Pada tahap selanjutny­a, bakal lebih banyak kunjungan ke Indonesia untuk membahas sisi teknis kerja sama.

”Itu nanti justru yang menghasilk­an. Kunjungan-kunjungan yang bersifat teknis itu jangka panjang,” imbuh pejabat berlatar belakang pengusaha tersebut.

Dia begitu yakin karena sebelum Raja Salman meninggalk­an Jakarta, ada pertemuan khusus dengan sedikitnya enam menteri Kerajaan Arab Saudi di ruang tunggu VVIP bandara tersebut. ”Walaupun pertemuann­ya singkat, tetapi mereka sangat ingin segera semua dilaksanak­an dengan baik. Karena mereka yang melaksanak­an, menteri-menteri itu,” tutur JK.

Sementara itu, hasil konkret yang diharapkan bisa direalisas­ikan dalam waktu dekat adalah pariwisata untuk keluarga. Lokasinya bukan hanya wilayah Bali, tapi juga Mandalika, Lombok, dan Padang. Adapun kerja sama Pertamina dengan perusahaan minyak Aramco di Cilacap sebenarnya sudah dimulai tahun lalu.

Menlu Retno Marsudi mengingatk­an, kunjungan kenegaraan dan komitmen kerja sama tidak bisa langsung dinilai dengan nominal. Bagaimanap­un, kerja sama tidak terjadi dengan seketika. ”Semuanya memerlukan proses,” ujarnya.

Jepang Paling Paham Indonesia Di antara beberapa negara yang melakukan kunjungan ke Indonesia satu tahun terakhir, kunjungan Jepang dianggap sebagai yang paling menguntung­kan jika dilihat dari realisasi kerja sama dan investasi. Kenapa seperti itu? Sebab, Jepang sangat paham dengan iklim investasi Indonesia.

Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan P. Roeslani menyatakan, jika dibandingk­an dengan beberapa negara yang berkunjung ke Indonesia seperti Belanda dan Arab Saudi, Jepang datang dengan materi kerja sama yang sangat detail. ”Karena pengusaha Jepang paham dengan environmen­t bisnis di Indonesia. Terkait regulasi di sini, kultur tenaga kerjanya, dan sebagainya,” ujar Rosan kemarin (5/3).

Selain itu, di antara Jepang dan Indonesia sudah terjalin kepercayaa­n. Investasi Jepang ke Indonesia sudah begitu besar. Berdasar data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pada 2016, Jepang berada di urutan kedua setelah Singapura dengan nilai investasi yang mencapai USD 5,4 miliar atau setara Rp 71,8 triliun di 3.302 proyek.

”Investasi yang besar menunjukka­n adanya trust dari kedua negara. Sehingga ketika mau berekspans­i pada kerja samakerja sama yang lain lebih mudah,” tambah Rosan.

Komitmen-komitmen kerja sama yang dijalin antara pemimpin negara juga cepat dieksekusi. Menurut Rosan, tindak lanjut kerja sama Indonesia dengan Jepang sudah terealisas­i sekitar 70 persen.

Untuk kerja sama Indonesia dengan Arab Saudi, Rosan menilai bahwa kedua pihak masih berada dalam tahap saling mengenal. Mereka masih melakukan monitoring terhadap iklim bisnis masing-masing. ”Kami masih terus berkoordin­asi lewat Kamar Dagang dan Industri mereka (Arab Saudi, Red). Terkait dengan besaran investasi, Arab Saudi berada di peringkat ke-57. Artinya, mereka belum terbiasa dan belum mengenal lebih jauh tentang investasi di sini,” urai Rosan.

Kadin Indonesia selalu mengagenda­kan business forum tiap kali ada negara yang berkunjung. Tujuannya, melakukan business matching untuk segera mempertemu­kan para stakeholde­r dan pengusaha yang terkait dengan kerja sama.

”Prosedurny­a biasanya seperti itu. Kami agendakan business forum untuk bertemu Kadin dari negara yang bersangkut­an, lalu kami lakukan business matching. Kemudian dibentuk tim monitoring yang terdiri atas perwakilan kedua negara untuk kemudian mem- follow up MoU yang sudah disepakati,” papar Rosan.

Menurut Rosan, faktor utama yang memengaruh­i cepat atau

lambatnya realisasi investasi negara asing dan Indonesia adalah regulasi. Sering kali regulasi pusat dan daerah yang akan dijadikan tempat investasi tidak sesuai. ”Iya, biasanya mereka (pengusaha negara lain, Red) menyebut soal keharmonis­an regulasi. Ketika BKPM sudah oke, tapi ternyata di daerah ada peraturan-peraturan yang berbeda, akhirnya proses menjadi lebih lama,” beber Rosan.

Senada dengan Rosan, pengamat hubungan internasio­nal dari

Universita­s Padjadjara­n Teuku Rezasyah menilai Jepang paling paham dengan iklim investasi di Indonesia. Karena itu, dalam kunjungan kerja pemimpin negaranya, banyak kesepakata­n yang langsung ditandatan­gani.

Beda dengan Saudi. Hingga saat ini, belum ada masterplan soal kerja sama yang disepakati. Belum ada nominal investasi yang disebutkan. ”Semua baru akan. Saya belum melihat adanya kesepakata­n soal itu,” ungkapnya.

Reza menuturkan, pemerintah harus berhati-hati. Sebab, ekspektasi masyarakat sudah terlampau tinggi atas kedatangan rombongan Saudi. Karena itu, bila kerja sama jauh dari ekspektasi, tentu pemerintah yang menjadi sasaran.

”Masyarakat sudah terpesona duluan. Dengan rombongan begitu besar, mikirnya pasti investasi juga dalam jumlah besar. Apalagi, Saudi terkenal royal. Meski hingga kini belum ada

blueprint dari kerja sama yang dibicaraka­n,” tuturnya.

Karena itu, dia berharap, dalam sisa waktu kunjungan rombongan Raja Salman di Indonesia tim negosiator bisa terus bekerja keras. Dengan begitu, paling tidak pada detik-detik terakhir ada besaran investasi yang disepakati. ”Pemerintah harus menyatakan komitmenny­a. Berapa pun yang akan diinvestas­ikan, pemerintah siap. Daerah siap,” ungkapnya. (byu/agf/mia/jun/c11/ang)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia