Minta MK Tidak Terpaku Persyaratan Administratif
JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) bakal menguji 49 permohonan gugatan sengketa pilkada dalam sidang pendahuluan. Namun, beberapa pihak menilai gugatan itu juga harus dilanjutkan dalam sidang pemeriksaan untuk menguji bukti-bukti kecurangan yang terjadi sepanjang pesta demokrasi di daerah.
Feri Amsari, peneliti Pusako FH Universitas Andalas, mengatakan, sidang pendahuluan yang akan digelar pada 16 Maret hanya digunakan untuk menguji apakah gugatan sudah memenuhi persyaratan. Yaitu, waktu pengajuan gugatan, pihak pemohon, dan ambang batas selisih suara. ”Kalau tidak memenuhi syarat itu, gugatan tidak diterima,” terang dia dalam diskusi bertema Sengketa di MK, Keadilan Substantif untuk Pilkada Demokratis di Jakarta Selatan kemarin (5/3).
Seharusnya, menurut dia, setelah sidang pendahuluan, MK membawa gugatan tersebut ke sidang pemeriksaan untuk menguji bukti-bukti kecurangan yang dibawa pelapor. Itu harus dilakukan untuk mengetahui apakah bukti yang diajukan kuat. ”Juga, apakah suara paslon yang menang diperoleh dengan sah,” tutur dia.
Jika bukti yang diajukan kuat, gugatan itu bisa dilanjutkan. Namun, dia menambahkan, kalau bukti yang disampaikan tidak kuat, hakim bisa menolak gugatan tersebut. ”Hakim MK jangan prosedural saja, tapi juga harus memperhatikan keadilan substantif,” jelas dia.
Feri mengatakan, kalau hakim hanya prosedural dan mengabaikan bukti kecurangan, keadilan substantif tidak akan tercapai. Para calon yang bersaing di pilkada pun bakal berupaya meraup suara sebanyak-banyaknya dengan berbagai cara. Kecurangan akan merajalela sehingga selisih suara dengan paslon lain akan jauh. Kalau selisih suara cukup jauh, pesaingnya tidak mungkin bisa mengajukan gugatan karena tidak memenuhi ambang batas selisih suara yang ditetapkan.
Dia menjelaskan, syarat ambang batas selisih suara 0,5–2 persen tetap menjadi acuan. Tapi, aturan itu bukan segala-galanya. Pihaknya tidak ingin aturan tersebut dihapus. Ambang batas suara tetap berlaku, tapi bukti kecurangan yang diajukan harus diperiksa terlebih dahulu. ”Jika bukti kecurangan tidak dihiraukan, siapa yang melakukan kecurangan akan bisa menjadi kepala daerah,” papar dia.
Fadli Ramadhanil, peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), mengungkapkan, selama ini memang ada pemohon yang mengajukan gugatan secara asal-asalan. ”Bahkan, ada yang ditulis dengan tangan dan tidak serius,” ucap dia. Tapi, hal itu tidak boleh digeneralisasi.
Menurut dia, banyak pemohon yang mengajukan gugatan secara serius. Mereka membawa bukti-bukti yang lengkap. Permohonan yang serius itulah yang perlu direspons MK. Jangan sampai, lanjut dia, gugatan berhenti di sidang pendahuluan. (lum/c11/fat)