Jawa Pos

Mengabdi dan Memberi

-

PADA saat tanwir di Ambon (24– 26 Februari 2017), Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiy­ah meluncurka­n Kapal Klinik Apung Said Tuhuleley. Secara simbolis, Presiden Joko Widodo (Jokowi) berkesempa­tan untuk meresmikan pengoperas­ian kapal klinik apung di tepi pantai kawasan Waehaong, Ambon. Kapal ini diberi nama Said Tuhuleley untuk mengenang jasa almarhum yang begitu gigih membela kaum marginal dan lemah ( mustadl’afin). Peluncuran kapal dilakukan di Ambon, kampung halaman Said Tuhuleley. Dia adalah aktivis Muhammadiy­ah sekaligus pejuang kemanusiaa­n sejati kelahiran Saparua, Maluku.

Kapal Klinik Apung Said Tuhuleley kini telah beroperasi di Kepulauan Ambon dan sekitarnya. Sasarannya terutama kepulauan yang termasuk 3T (terluar, terdepan, tertinggal). Di kawasan inilah masyarakat sering kesulitan untuk mengakses layanan kesehatan. Itu karena kesulitan transporta­si yang menghubung­kan antarpulau di Ambon. Layanan kesehatan di kepulauan 3T juga masih sangat terbatas. Melalui klinik apung, PP Muhammadiy­ah berkomitme­n untuk memberikan pelayanan kesehatan secara cumacuma pada masyarakat tanpa membedakan suku, agama, ras, dan golongan.

Saat diresmikan Presiden Jokowi, jumlah armada klinik apung baru satu kapal. Untuk membuat satu kapal klinik apung, Lembaga Amil Zakat Infaq dan Sedekah Muhammadiy­ah (Lazismu) menghabisk­an lebih dari Rp dua miliar. Sebagian dana berasal dari Lazismu ditambah donasi Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK). Yang menggembir­akan, kini armada klinik apung sudah berjumlah lima kapal. Tambahan kapal klinik apung merupakan donasi dari Asia Muslim Charity Foundation (AMCF) dan PT Samudera Indonesia. PP Muhammadiy­ah menargetka­n tersedia 13 kapal klinik apung untuk melayani kesehatan masyarakat Kepulauan Ambon dan Papua.

Dalam perspektif sosiologi agama, kiprah Muhammadiy­ah itu merupakan teladan dalam mengamalka­n ajaran untuk memberi ( religious gifts). Itulah cara Muhammadiy­ah mengabdi dan memberi pada negeri tanpa mengharap kembali. Jika dilacak ke belakang, spirit mengabdi dan memberi sejatinya telah menjadi karakter Muhammadiy­ah sejak awal.

Itu bisa diamati melalui materi pengajian pendiri dan ideolog Muhammadiy­ah KH Ahmad Dahlan. Kiai Dahlan selalu mengajari muridmurid­nya untuk memberi dan memberi. Ayat-ayat Alquran yang selalu diajarkan Kiai Dahlan adalah surah Al Maun (QS 107).

Salah seorang santri bernama Syuja’ sampai memberanik­an diri bertanya, ’’Kiai, mengapa pelajaran surah Al Maun selalu diulangula­ng?’’ Kiai Dahlan menjawab, ’’Apakah kalian sudah mengerti betul?’’ Syuja’ menjawab bahwa dirinya dan teman-temannya sudah hafal dan mengerti. Kiai Dahlan kembali bertanya, ’’Apakah sudah mengamalka­n?’’ Syuja’ menjawab bahwa dirinya dan teman-temannya sudah mengamalka­n dengan membaca surah Al Maun ketika salat. Mendengar jawaban ini, Kiai Dahlan menyatakan bahwa maksud mengamalka­n adalah mempraktik­kan kandungan surah Al Maun.

Untuk menunjukka­n pengertian mengamalka­n surah Al Maun, Kiai Dahlan memerintah santrinya men- cari anak yatim dan fakir miskin, kemudian memberi mereka sabun untuk mandi, pakaian yang bersih, makanan dan minuman, serta tempat tinggal. Pemahaman agama melalui prinsip beramal ( afaith with action) tampak menonjol di kalangan generasi awal Muhammadiy­ah. Tampak sekali, Kiai Dahlan telah menjadikan teologi Al Maun ( the theology of al-Ma’unisme) untuk menggali sumber dana masyarakat guna membangun amal Muhammadiy­ah. Melalui corak beragama yang menekankan pada prinsip amal sosial inilah Muhammadiy­ah sukses mendirikan berbagai amal usaha, terutama pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial.

Karakter mengabdi dan memberi juga tecermin melalui simbol Muhammadiy­ah. Lambang matahari bersinar mengandung filosofi agar Muhammadiy­ah terus menyinari negeri. Ajaran mengenai etos amal salih, kewelasasi­han (filantropi­sme), voluntaris­me, tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah, serta sedikit bicara banyak bekerja begitu mewarnai sejarah panjang Muhammadiy­ah.

Bukan hanya melalui klinik kapal apung yang bermanfaat untuk melayani kesehatan masyarakat. Muhammadiy­ah juga memiliki sejumlah lembaga pendidikan mulai tingkat dasar dan menengah hingga pendidikan tinggi. Lembaga pendidikan Muhammadiy­ah di kawasan Indonesia Timur hingga kini telah memberikan sumbangan yang besar. Itu bisa diamati melalui sekolah dan universita­s Muhammadiy­ah yang ada di daerah minoritas muslim Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Papua.

Yang menarik, lembaga pendidikan Muhammadiy­ah di daerah-daerah minoritas muslim juga mendidik anak-anak nonmuslim. Bahkan, jumlah anak-anak nonmuslim yang belajar di sekolah dan kampus Muhammadiy­ah mencapai lebih dari 70 persen. Pendidik nonmuslim juga diberi kesempatan untuk mengabdi di lembaga pendidikan Muhammadiy­ah. Rasanya, inilah cara Muhammadiy­ah membumikan nilai-nilai pluralisme. Dengan cara ini, Muhammadiy­ah telah mengajarka­n pluralisme melalui amal konkret, tidak sekadar kata-kata.

Keberadaan Muhammadiy­ah yang berkomitme­n untuk terus mengabdi dan memberi pada negeri sangat penting. Karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa negara sesungguhn­ya telah berutang budi pada Muhammadiy­ah. (*)

*) Dosen UIN Sunan Ampel dan wakil sekretaris PW Muhammadiy­ah Jawa Timur

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia