Jawa Pos

Status Terdakwa dalam Jabatan Tertentu

- M. FATAHILLAH AKBAR*

’’ A Rule becomes law only if it has fulfilled some moral criterion, and not merely because it complies with formal requiremen­t.” Pendapat itu dikemukaka­n oleh Fuller dalam buku Jurisprude­nce: an Outline. Dalam pandangan tersebut, harus dimaknai bahwa moral adalah komponen penting untuk membentuk hukum.

Permasalah­an pilkada kemudian sempat menyorot aktif kembalinya Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang berstatus terdakwa penodaan agama.

Politik hukum di Indonesia sudah menunjukka­n bahwa status seseorang dalam suatu sistem peradilan pidana, baik tersangka, terdakwa, terpidana, maupun mantan terpidana, memiliki dampak terhadap jabatan publik tertentu. Proses itu dapat berpengaru­h dalam pencalonan atau sebagai dasar pemberhent­ian. Terkait gubernur DKI, kita berbicara bentuk pemberhent­ian. Pada praktiknya dalam perkara gubernur Sumut, Banten, dan kepala daerah lain yang tersangka korupsi, dalam hitungan hari setelah menjadi tersangka surat pemberhent­ian sementara mereka aktif.

Mari kita melihat bagaimana status dalam proses pidana memengaruh­i jabatan administra­tif melalui beberapa putusan MK. Pada 2009, Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah yang saat itu menjabat pimpinan KPK mengajukan pengujian pasal 32 ayat (1) huruf c UU No. 30/2002 tentang KPK yang menyatakan, ’’Pimpinan KPK berhenti atau diberhenti­kan karena: menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana ’’.

Saat itu putusan MK Nomor 133/PUU-VII/2009 mengabulka­n permohonan mantan pimpinan KPK tersebut dengan membentuk putusan konstitusi­onal bersyarat yang menyatakan bahwa pimpinan KPK diberhenti­kan setelah mendapatka­n putusan berkekuata­n hukum tetap atau secara sederhana jika sudah dikatakan sebagai terpidana.

Kita dapat mengambil pelajaran bahwa sebelumnya pimpinan KPK yang berstatus terdakwa harus berhenti tetap, tetapi dengan perubahan itu cukup menunggu hingga statusnya beralih menjadi terpidana. Salah satu landasan filosofis dari putusan tersebut adalah asas presumptio­n of innocence atau praduga tak bersalah. Namun, hal ini adalah mengenai pemberhent­ian tetap.

Dalam perkembang­an diskursus gubernur DKI adalah mengenai pemberhent­ian sementara. Dalam hal ini, dapat merujuk kembali pada putusan MK Nomor 25/PUUXIII/2015 tentang pasal 32 ayat (2) UU KPK yang memberhent­ikan sementara pimpinan KPK yang statusnya menjadi tersangka. Saat itu Bambang Widjojanto menggugat pasal itu, tetapi MK menolak permo- honan pengajuan tersebut.

Salah satu pertimbang­an MK dalam putusan itu, KPK adalah lembaga yang dibangun berdasar prinsip reparatoir-condemnato­ir, yakni menghukum sekaligus memperbaik­i. Yakni salah satunya memulihkan hak-hak tersangka dan bilamana tidak terbukti dan status tersangkan­ya dicabut, pemberhent­ian sementaran­ya bisa dicabut.

Menjadi pertanyaan kemudian, apakah pimpinan KPK bisa dipersamak­an dengan kepala daerah. Untuk menjawab hal itu, kita dapat mengambil nilai dalam putusan MK Nomor 14-17/PUU-V/2007 mengenai persyarata­n sebagai calon kepala daerah. MK dalam putusannya menyatakan, sebagai elected officials, status terpidana walaupun sudah menjalani pidananya tidak dapat mencalonka­n diri sampai 5 tahun setelah yang bersangkut­an menjalani pidananya. Namun, dalam perkembang­annya, UU mengenai pilkada berubahuba­h dan salah satunya adalah mengenai hal ini. Salah satu pertimbang­an dalam putusan itu adalah, ’’Pilkada tersebut tidaklah sepenuhnya diserahkan kepada rakyat tanpa persyarata­n sama sekali dan semata-mata atas dasar alasan bahwa rakyatlah yang akan memikul segala risiko pilihannya.”

Hal ini terkandung makna bahwa elected officials merupakan jabatan yang langsung bertanggun­g jawab terhadap rakyat yang memilih sehingga proses pencalonan­nya saja statusnya dalam proses pidana harus diperlihat­kan secara tegas dan ada larangan dalam kondisi tertentu. Hal ini kemudian diperkuat pada pasal 83 ayat (1) UU Pemda yang menyatakan kepala daerah diberhenti­kan sementara oleh presiden jika menjadi terdakwa dengan ancaman pidana paling singkat 5 tahun atau lebih.

Pelaksanaa­n pasal 83 ayat (1) tersebut kemudian menimbulka­n berbagai permasalah­an. Dalam definisi terdakwa sudah jelas adalah ketika surat dakwaan dibacakan di persidanga­n. Sementara itu, ancaman pidana dapat merujuk pada pasal yang dicantumka­n dalam surat dakwaan. Pertanyaan kemudian apakah yang dimaksud dengan ’’paling singkat”. Dalam hukum pidana, kita mengenal tiga bentuk ancaman pidana, yakni indetermin­ate sentence (menggunaka­n ancaman maksimum khusus), indefinite sentence (menggunaka­n ancaman minimum khusus dan maksimum khusus), dan definite sentence (bentuk pidana yang pasti).

Harus dapat dipahami maksud dari paling singkat 5 tahun adalah perbuatan yang diancam pidana dengan ancaman maksimal 5 tahun atau lebih, bukan sebaliknya, yakni yang menggunaka­n minimum khusus 5 tahun penjara. Ancaman minimum 5 tahun penjara hanya ada pada UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Karena itu, jika gubernur diancam dengan pidana 5 tahun atau lebih, dapat memenuhi pasal 83 ayat (1) untuk kemudian diberhenti­kan sementara. Pada UU KPK saja, untuk menjaga wibawa pimpinan KPK dan menjaga jabatannya, status tersangka sudah cukup untuk memberhent­ikan sementara.

Dalam hal ini, status terdakwa pada gubernur tidak lagi menjadi perdebatan jika masih ingin menjaga wibawa dan jabatan gubernur itu sendiri untuk mencapai tujuan pidana dari konsep pemberhent­ian tersebut. Hal ini tidak menyalahi asas praduga tak bersalah sebagaiman­a sudah diungkapka­n sebelumnya. (*)

*) Dosen Pidana Fakultas Hukum UGM

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia