Saatnya RI Perkuat Manufaktur
JAKARTA – Pemerintah Tiongkok menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun ini dari 6,5 persen hingga 7 persen menjadi 6,5 persen. Perubahan itu menuntut Indonesia mencari pasar dan sumber foreign direct investment (FDI) lain.
Selama ini investasi dari Tiongkok cukup tinggi. Terutama di sektor pertambangan, transportasi, konstruksi, dan pembangkit listrik. Pada 2013, Tiongkok masuk sepuluh besar penyumbang investasi Indonesia. Pada 2014 dan 2015, peringkatnya meningkat ke posisi 8. Bahkan, pada tahun lalu, Tiongkok berada di posisi tiga besar dengan USD 2,7 miliar atau 9,2 persen total FDI Indonesia.
Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia (BI) Yoga Affandi menyatakan, Tiongkok sedang melakukan pengetatan kebijakan moneter dan lebih terbuka dengan investasi asing. ”Sikap terbuka ini karena AS memilih kebijakan proteksionis. Tiongkok sangat pintar memanfaatkan keadaan ini untuk menarik investasi asing,” ujarnya.
Deregulasi juga dilakukan karena Tiongkok mengalami capital outflow yang membuat investasi lari ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Jika hal itu tidak disikapi dengan baik, Indonesia bisa kecolongan.
Selagi harga komoditas naik, Indonesia dituntut memperbaiki sektor manufaktur agar nilai tambah meningkat. Peningkatan ekspor komoditas bukan strategi yang mampu memperbaiki ekonomi secara struktural. ”Kenaikan harga komoditas itu cyclical. Sekali harga komoditas jatuh, kalau kita terlalu berharap ke situ, nanti kita susah menghadapinya,” terang Yoga.
Kemajuan sebuah negara, tutur dia, diawali dengan perubahan dari industri pendukung pertanian ke manufaktur, lantas berubah lagi ke jasa. Jika Indonesia bisa memperkuat manufaktur, nilai ekspor ke Tiongkok dan negara-negara pasar lainnya akan meningkat. Upaya tersebut sekaligus bisa menyelamatkan Indonesia dari jebakan pendapatan menengah.
Selama ini Indonesia memang masuk dalam jebakan itu dengan pendapatan per kapita USD 3.400 per tahun. Untuk keluar dari middle income trap, Indonesia harus memiliki produk domestik bruto (PDB) per kapita lebih dari USD 12.000 pada 2030. ”Bonus demografi yang dinikmati Indonesia saat ini juga mendukung penguatan industri manufaktur,” imbuh Yoga.
Indonesia juga harus mampu menarik wisatawan Tiongkok dengan memperbanyak penerbangan langsung. Banyaknya penerbangan langsung dari Tiongkok ke Sulawesi terbukti meningkatkan turis dan mendorong pertumbuhan sektor UMKM. ”Nanti bisa mendatangkan uang dari wisatawan Tiongkok dan mungkin investasi FDI,” paparnya.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai Tiongkok melakukan rebalancing dalam bentuk deindustrialisasi dan peningkatan upah buruh. (rin/c25/noe)