Langsung Sumbangkan ke Panti Sosial
Kampanye peduli lingkungan berbasis tempat ibadah sangat jarang di ibu kota ini. Lusia Mona Artari adalah salah seorang penggeraknya. Dia menginisiatori gerakan sedekah sampah di gereja-gereja di Jakarta.
MENTARI pagi baru saja naik sepenggalan kepala. Ratusan orang sudah berkumpul di area Gereja Katolik Rawamangun, Jakarta Timur (Jaktim), kemarin.
Mereka merupakan jemaat gereja dan masyarakat umum. Jemaat kompak memulai kegiatan garuk- garuk sampah yang tersumbat di saluran air dan lingkungan gereja.
Antusiasme warga dan jemaat sangat tinggi. Kegiatan itu, tampaknya, tersiar jauh-jauh hari sebelumnya. Setelah garuk-garuk sampah, warga dan masyarakat kembali ke tempat parkir kendaraan mereka masing-masing.
Tidak balik ke rumah, mereka hanya mengambil kantong berisi sampah yang masih bisa di daur ulang. ”Satu bulan sebelumnya, saya memberi tahu mereka untuk memilah sampah sejak dari rumah masing-masing,” kata Lusia Mona Artari, aktivis Gereja Katolik Rawamangun seksi lingkungan hidup, kemarin.
Ya, pagi itu jemaat dan masyarakat umum ramai-ramai berse- dekah sampah. Gerakan sedekah sampah berbasis gereja tersebut merupakan gagasan Lusia.
Sejak tahun lalu, dia mulai berkonsentrasi membangun kesadaran jemaat lewat corong gereja. Dia juga merupakan salah seorang tokoh yang mendorong gereja untuk mendekorasi ornamen perayaan Natal menggunakan sampah rumah tangga.
”Gerakan sedekah sampah di tempat ibadah ini akan sangat efektif. Sebab, gerakan ini dimulai dari mimbar dan pengeras suara tempat ibadah,” ucap Lusia yang merupakan sarjana teknik lingkungan Universitas Trisakti itu.
Menurut dia, gerakan sedekah sampah dengan basis gereja lebih efektif mengubah perilaku masyarakat. Sebagai simpul sebuah komunitas, gereja atau tempat ibadah lain merupakan sarana yang paling mampu mengubah perilaku.
”Semua agama mengajarkan cinta sesama. Tetapi, begitu jemaat membuang sampah sembarangan dan merusak lingkungan, itu justru menunjukkan sikap tidak mencintai sesama,” jelas perempuan kelahiran Jakarta, 1974, tersebut.
Sampah yang dikumpulkan dari jemaat, ujar Lusia, dijual ke bank sampah milik Dinas Lingkungan Hidup DKI saat itu juga. Hasilnya memang tidak seberapa, hanya Rp 2.500 ribu. Uang itu langsung disumbangkan ke lembaga dan panti sosial yang bermarkas di Mataram.
”Nilainya tidak seberapa, tapi manfaatnya tiga. Yakni, bisa membangun kesadaran jemaat, membuat orang sadar bahwa sampah pun bisa menghasilkan uang, dan berpartisipasi aktif membantu anak panti,” terang Lusia.
Dia menilai perilaku membuang sampah sembarangan dan tidak peduli lingkungan justru merugikan diri sendiri dan orang lain. Makin banyak sampah yang dibuang sembarangan, kian besar pula kemungkinan penyakit menyebar kepada orang lain. ”Secara tidak langsung, kita menebar kerusakan untuk diri sendiri dan orang lain,” ujar perempuan yang tinggal di Rawamangun tersebut.
Upaya yang dimulai sejak awal tahun lalu itu, rupanya, menjadi magnet bagi gereja yang lain. Beberapa gereja di Jabodetabek sudah memintanya untuk menggerakkan jemaat di lingkungan mereka masing-masing. ”Saya ingin menularkan kebaikan ke gerejagereja lainnya,” ujarnya
Semangat menularkan kebaikan tersebut, terang Lusia, harus terus meluas. Sebab, lingkungan merupakan masalah yang berdampak langsung kepada orang banyak. Karena itu, makin banyak dibutuhkan dukungan dan pelibatan elemen masyarakat.
”Rencananya, saya memang melibatkan sebanyak-banyaknya orang supaya bergerak samasama,” kata perempuan yang punya cita-cita masa kecil sebagai dokter tersebut.
Lusia mengungkapkan, kegiatan sedekah sampah kemarin mendapat respons positif dari ketua RT di lokasi kegiatan. Sebab, inisiatifnya membuat masyarakat keluar dari rumah masing-masing. (*/c24/diq)