Warga Tolak Privatisasi Pulau
Pasang Bambu Runcing
KEPULAUAN SERIBU – Ratusan warga Pulau Pari, Kepulauan Seribu, memasang bambu runcing dan bendera Merah Putih di depan rumah mereka sebagai simbol penolakan privatisasi pulau.
Aksi tersebut dilakukan untuk menolak klaim PT Bumi Pari yang menyatakan memiliki 90 persen wilayah Pulau Pari. Sebelumnya, Bupati Kepulauan Seribu Budi Utomo membantah bahwa Pulau Pari dimiliki perorangan dan 40 persen tanah di sana adalah milik Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. Namun, berdasar peta yang dimiliki PT Bumi Pari, hampir seluruh wilayah Pulau Pari diklaim perusahaan itu.
”Hanya wilayah LIPI, pelabuhan, menara telekomunikasi, sekolah, dan bangunan masjid yang tidak diklaim,” kata Ketua Forum Peduli Pulau Pari Sahrul Hidayat kemarin (5/3).
Menurut dia, warga melihat peta klaim tersebut di kantor staf presiden (KSP). Sahrul menuturkan, KSP pernah memanggil pihak PT Bumi Pari untuk dimintai keterangan. ”(Kepada KSP, Red) PT Bumi Pari menjelaskan bahwa pemilik lahan Pulau Pari bukan warga,” tuturnya.
Karena itu, warga Pulau Pari menolak klaim sepihak dari perusahaan tersebut. Mereka, lanjut Sahrul, sudah empat generasi hidup di Pulau Pari, bahkan sebelum kemerdekaan. ”Warga mengelola pantai perawan, objek wisata secara mandiri. Setelah sukses, tiba-tiba PT Bumi Pari datang kemudian mengklaim memiliki Pulau Pari. Mereka menempatkan penjaga untuk mengintimidasi warga,” ujar Edi Mulyono, ketua RT 01 di pulau tersebut.
Dia menjelaskan, dulu warga di Pulau Pari memiliki girik dan membayar PBB. Namun, pada 1980-an kelurahan menarik semua girik warga dengan alasan akan diperbarui. Hingga saat ini, girik atau pembaruan tersebut tidak ditepati kelurahan. Selain itu, pembayaran PBB dihentikan sepihak oleh kelurahan.
”Kami sudah mendatangi Kementarian Agraria/BPN, KSP, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk meminta masalah ini diselesaikan agar hak warga diberikan. Sekarang semua sedang proses. Bahkan, salah seorang warga kami didiskriminalisasi pihak perusahaan hingga divonis empat bulan penjara karena dituduh menyerobot lahan perusahaan,” terang Edi.
Sementara itu, LBH Rakyat Banten dan Walhi Jakarta menilai, klaim PT Bumi Pari terhadap pulau tersebut tidak berdasar. Warga telah menempati daerah itu secara turun temurun. Bahkan, mereka memiliki berbagai bukti penguasaan lahan.
”Kami menduga ada mafia pulau yang memuluskan privatisasi pulau di Kepulauan Seribu. Bagaimana mungkin perusahaan yang tidak pernah menggunakan lahan pulau mendapatkan penguasaan 90 persen wilayah pulau,” ungkap Manajer Program dan Kampanye Walhi Jakarta Zulpriadi.
Dia menjelaskan, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tidak membenarkan kepemilikan pulau secara perorangan. Termasuk penguasaan sebagian besar lahan pulau kecil. UU tersebut, lanjut Zulpriadi, melindungi masyarakat lokal untuk menguasai dan mengelola secara mandiri. (dod/c21/diq)
Hanya wilayah LIPI, pelabuhan, menara telekomunikasi, sekolah, dan bangunan masjid yang tidak diklaim.” Sahrul Hidayat, Ketua Forum Peduli Pulau Pari