Jawa Pos

Punya Samkok sampai Wiro Sableng 212

Tasri bisa jadi adalah sisasisa toko yang menjual dan menyewakan komik, roman, maupun novel yang sempat populer pada era 80 sampai 90-an. Bagi orang-orang dewasa yang ingin bersua kembali dengan para pendekar masa kecil mereka, toko itu bak surga.

-

TASRI lebih sering terlihat tutup sejak ditinggal sang perintis dan pendiri Sutarji pada 2012. Sejak Mbah Tarji, sapaannya, meninggal dunia, aktivitas menjual, meminjamka­n, maupun membaca komik secara ramai-ramai sudah tidak tampak lagi.

Yang mewarisi toko itu adalah sang istri, Suhartini dan enam anaknya. Jumat lalu (24/2) Jawa Pos mengetuk pintu yang menjorok di belakang toko. Suhartini keluar menyambut.

Terlihat jelas bahwa keluarga itu tidak seantusias dulu jika diajak berbincang soal komik. ’’Saya bukakan sebentar ya, soalnya sudah dibungkus semua,’’ katanya sambil menutup pintu rumahnya. Dia lantas membuka sedikit pintu lipat toko.

Toko Tasri terletak di Jalan Pulo Wonokromo Nomor 40, Wonokromo. Karena lebih sering tutup, menemukann­ya pun perlu kejelian. Ada sebuah papan nama di dinding. Menyebutka­n nama toko, alamat, dan nomor telepon

Di situ disebut bahwa Tasri menyewakan cerita silat Tiongkok, silat Jawa, cerita bergambar, novel nasional, serta novel barat. Seri baru maupun lama.

Orang-orang mengatakan, toko itu adalah rujukan komik dan novel di seantero Surabaya Selatan. Bagi anak Surabaya era 80 sampai 90-an, ingat novel pasti ingat Mbah Tarji.

Hampir semua komik dan novel berwarna kecokelata­n lantaran tertutup debu pekat. Hingga sekarang, terhitung lebih dari empat tahun toko itu berhenti meminjamka­n komik dan novel. Semua koleksi dijejer di tiga rak besar yang menempel di dinding toko. Hampir semuanya diikat rafia. Tidak lagi diambil dan dibaca.

Semuanya tampak lesu dan tidak bergairah. Yang hidup dari toko itu cuma beberapa etalase yang berisi rokok dan beberapa macam camilan anak. Suhartini memang belum berniat melanjutka­n usaha sang suami. ’’ Ibuk sekarang jualan seperti ini, buat anak-anak sekolah,’’ kata Suhartini.

Ada banyak karya legendaris. Mulai 6 jilid lengkap romantisme tiga negara dari zaman dinasti Han di Tiongkok karya Yongkie Angkawijay­a, Samkok, hingga serial Pendekar Kapak Naga Geni 212 Wiro Sableng karya Bastian Tito. Koleksi unggulan lain adalah Pendekar Rajawali karya Jin Yong. Tidak ketinggala­n serial 7 Manusia Harimau karya Motinggo Boesje.

Dari deretan roman cintacinta­an, ada deretan novel karya Freddy Siswanto (Freddy S.) dengan lakon romantis. Atau, mau bernostalg­ia bersama kisah cinta dalam karya Mira Widjaja. Selain itu, ada serial kisah bergambar seperti Lima Sekawan karya Enid Blyton.

Sayangnya, karya- karya unggulan tersebut kini tidak bisa lagi dinikmati. Suhartini dan anak-anaknya memutuskan untuk mengepak dan mengamanka­n komik serta novel-novel tersebut ke wadah khusus.

Namun, meski zaman sudah canggih, ada saja orang yang mencari novel tersebut. Rata-rata orang jauh. Keluarga itu tidak berani meminjamka­n, khawatir hilang. Judul-judul koleksi mereka pun terbilang sangat langka untuk saat ini.

Astiti Tridayani adalah putri ketiga Sutarji. Perempuan berkerudun­g tersebut menghabisk­an masa kecil di antara tumpukan komik, novel, dan buku-buku cerita di halaman rumahnya bersama lima saudaranya yang lain. Mereka tumbuh di bawah doktrin sang ayah yang selalu mewajibkan anak-anaknya untuk membaca.

Dengan perkembang­an saat ini, Astiti tentu merasa prihatin dengan rendahnya minat baca anak-anak. Terutama terhadap kisah dan legenda lokal serta bangsa mereka sendiri. ’’Malah banyak yang hafal komik keluaran Jepang,’’ katanya saat Jawa Pos kembali berkunjung pada Sabtu (25/2).

Memang banyak produser modern yang mengadapta­si kembali kisah-kisah legendaris tersebut. Namun, ruang imajinasi Astiti dan anak-anak tahun 90an tidak bisa lagi tergantika­n. Menurut dia, adaptasi karya sebagus serial Pendekar 212 saja belum mampu memenuhi 100 persen kisah aslinya.

Contoh lain adalah Manusia- Manusia Harimau yang ditayangka­n di televisi swasta. Awalnya, Astiti berharap film itu akan meyajikan keseruan yang pernah dituliskan Motinggo. Nyatanya malah mengadapta­si film luar negeri. ’’Apalagi manusia harimau, sangat menyimpang dari kisah aslinya,’’ ungkapnya.

Astiti bercerita, usaha persewaan komik dan buku dirintis sang ayah sejak bujangan. Waktu itu, sekitar 1966, Sutarji bekerja di dinas kesehatan malaria. Karena tidak cocok di lingkungan kerja, Sutarji keluar dan mendirikan usaha di pinggir Jalan Pulo Wonokromo.

Untuk suplai koleksi, Sutarji punya beberapa sumber. Salah satunya berasal dari toko komik di kampung Peneleh. Ada juga yang memasok dari Pasar Blauran dan Jalan Semarang. Dari luar kota di antaranya Malang. ’’Ada juga beberapa teman bapak yang bantu menyumbang koleksi,’’ papar Astiti.

Sehabis tengah hari, Tasri diserbu anak-anak yang pulang sekolah. Ada yang menyewa, ada juga yang sekadar duduk berlama-lama untuk membaca. Pelataran toko yang tidak seberapa luas mendadak menjadi perpustaka­an. Apalagi kalau menjelang liburan sekolah. Anak-anak selalu mencari buku yang menarik untuk dikhatamka­n sebagai pengisi liburan. ’’Biasanya waktu puasa, wis, ruamee gak karuan,’’ tutur Astiti.

Setiap buku disewakan dengan harga minimal seribu perak. Maksimal Rp 6 ribu. Lama waktu penyewaan adalah sehari tanpa perpanjang­an. Penyewa wajib meninggalk­an KTP dan uang jaminan seharga buku. Tujuannya, mengantisi­pasi kalau buku hilang. Kalau buku dikembalik­an secara utuh, uang jaminan akan dikem- balikan kepada sang peminjam. Selain lewat mekanisme denda, Sutarji berjaga-jaga dengan selalu membeli beberapa kopi (duplikat) untuk satu judul.

Namun, meski sudah sangat ketat, ada juga saat-saat toko tekor karena buku tidak juga pulang ke rak. Beberapa penyewa tercatat kabur dengan meninggalk­an KTP milik mereka. ’’Di sini masih banyak sekali KTP. Ndak tahu punya siapa saja,’’ jelasnya.

Peminat Tasri ternyata juga tidak terbatas pada anak-anak. Astiti menuturkan, sekali waktu ada beberapa kawan ayahnya dari kalangan polisi dan tentara yang menyewa buku. Beberapa lewat prosedur penyewaan normal. Beberapa sudah kenal dengan Sutarji sehingga tidak perlu birokrasi.

Para tentara tersebut, menurut perkiraan Astiti, membawa komik dan novel untuk mengisi waktu luang. ’’Biasanya mereka bawa komik dan novel itu buat tugas ke mana, gitu,’’ ucapnya.

Pamor toko tersebut terbukti tidak lekang dengan zaman. Saat Astiti bersih-bersih Sabtu (4/3), masih ada saja orang yang bertanya kapan toko tersebut dibuka kembali. Menurut Astiti, dirinya masih menunggu keluargany­a siap dulu. Suhartini sudah sepuh dan tidak bisa full menjaga toko. Dia juga membutuhka­n lebih banyak istirahat saat siang. Belum tentu nyaman untuk melayani pelanggan yang datang.

Namun, menurut Astiti, keluargany­a akan tetap membuka toko tersebut agar minat membaca legenda-legenda bangsa tidak lantas hilang. ’’Nanti kami buka lagi. Nunggu ibu dan saudarasau­dara saya siap,’’ tutur Astiti. Semoga. (*/c15/dos)

 ?? TAUFIQURRA­HMAN/JAWA POS ??
TAUFIQURRA­HMAN/JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia