Murid Nyontek Kena Sanksi Terjemahkan Satu Novel
Guru yang satu ini memang istimewa dan langka. Dia sangat produktif menerbitkan buku. Sudah 175 judul buku lahir dari tangannya. Hebatnya lagi, semua berbahasa Inggris.
RUANG tamu di kediaman Slamet Riyanto di Jalan Flamboyan, Tegalmulyo, Kepek, Wonosari, Gunungkidul, Daerah Istimewa Jogjakarta, memang tidak terlalu luas. Hanya berukuran 3,5 x 5 meter. Tapi, ruangan itu tampak penuh dengan buku-buku yang tertata rapi di rakrak yang menempel pada dinding-dindingnya.
Di tengah ruangan, terdapat meja dan kursi kayu serta lampu penerangan yang memadai. Selain berfungsi sebagai ruang tamu, tempat itu dimaksudkan sebagai perpustakaan pribadi tuan rumah.
Di antara ratusan buku yang tersusun di rak-rak tersebut, sebagian besar karya Slamet Riyanto sendiri. Jumlahnya tidak sedikit, 175 judul. Yang mengagumkan, hampir seluruh buku itu ditulis dalam bahasa Inggris. Hanya satu–dua buku yang ditulis dalam dua bahasa, Inggris-Indonesia. Umumnya buku materi pengajaran bahasa Inggris di sekolah
”Saya mulai menulis buku bahasa Inggris pada 1997. Tapi baru terbit jadi buku pada 2001,” ujar Slamet ketika ditemui di rumahnya Minggu (5/3).
Sebagai guru bahasa Inggris di SMAN 2 Wonosari, sudah lama Slamet tidak puas dengan metode pengajaran bahasa Inggris yang digariskan kurikulum. Dia ingin muridmuridnya menjadikan bahasa Inggris sebagai alat untuk mendukung bakat masing-masing. Karena itu, dia kemudian membuat metode pengajaran sendiri untuk mendukung obsesi tersebut. Selain itu, buku-buku karyanya tersebut merupakan buah kegundahan Slamet atas minimnya buku materi pelajaran bahasa Inggris selama ini.
”Waktu itu tahun 1992, yang ada hanya buku paket,” tuturnya.
Bila hanya bermodal buku paket, Slamet tidak yakin bisa mengasah kemampuan muridnya secara maksimal. Karena itu, guru 51 tahun tersebut mulai menulis buku yang dimaksudkan sebagai penunjang buku paket yang ada. Akhirnya, jadilah buku materi yang berjudul English for You pada 1997. Persoalannya, kala itu tidak ada penerbit yang bersedia menerbitkan buah pikirnya tersebut menjadi buku.
Akhirnya, Slamet menerbitkan sendiri buku perdananya itu pada 2001. ” Ternyata, menerbitkan secara indie modalnya besar sekali,” ungkap dia.
Boro-boro balik modal, menerbitkan secara indie tersebut membuat Slamet rugi banyak. Karena itu, dia lalu berusaha memperbaiki buku tersebut dengan mengganti judulnya menjadi The Easy Way to Master English in a Few Days. Hasilnya, penerbit Pustaka Pelajar Jogja mau menerima dan menerbitkannya pada Juni 2002.
Buku setebal 234 halaman itu berisi panduan tata bahasa Inggris ( grammar) yang praktis dan lengkap. Sejak saat itu, semangat Slamet untuk melahirkan buku-buku pengajaran bahasa Inggris terus menyala. Kebanyakan karyanya berkaitan dengan teknik berbahasa Inggris. Misalnya buku tentang percakapan dalam bahasa Inggris, suratmenyurat, hingga kosakata.
Dia juga menulis kamus bahasa Inggris dengan susunan redaksional yang berbeda dengan kamus-kamus bahasa Inggris pada umumnya. Kamus itu dia susun selama sepuluh tahun. Dia yakin bahwa kamus bikinannya lebih mudah dipahami para pembaca. ”Saya juga menulis buku TOEFL tahun 2007, sebelum buku-buku mengenai TOEFL booming,” tutur dia.
Di luar itu, Slamet juga menyadur sejumlah cerita rakyat Indonesia. Misalnya The Story of Empu Sindok dan The Story of Putri Dyah Pitaloka. Pengalaman sehari-hari yang dia temui juga diceritakan lagi dalam buku. Tentu pengalaman yang menurut dia bisa menjadi inspirasi bagi orang lain.
Produktivitas Slamet dalam melahirkan buku-buku berbahasa Inggris itu akhirnya diapresiasi pemerintah Amerika Serikat. Slamet diikutsertakan dalam program kunjungan ke Philadelphia selama tiga pekan pada Juli 2009. Dia mengikuti sejumlah program, mulai pengenalan negara Amerika Serikat, workshop, hingga program homestay.
Keikutsertaan itu merupakan buah perjuangan Slamet dalam mengajukan lamaran kepada pemerintah AS. ”Saya tiga kali melamar, baru diterima pada 2009 itu,” jelas Kabid Literasi dan Penerbitan Karya Guru di Ikatan Guru Indonesia (IGI) itu.
Pada 2016, Slamet kembali diundang untuk mengikuti program Global Education and Skills Forum di Dubai, Uni Emirat Arab, pada 12–13 Maret serta UNESCO Regional Meeting pada 13–14 Juli di Bangkok, Thailand.
Produktivitas Slamet dalam membuat buku tidak lepas dari kecintaannya di dunia tulismenulis. Sejak kecil, dia suka mengarang. Beberapa kali dia menjuarai lomba mengarang tingkat kabupaten. ”Selain menulis, saya juga gemar membaca buku,” ujar pria yang berulang tahun setiap 6 Oktober itu.
Bagi Slamet, syarat mutlak menjadi penulis yang baik adalah gemar membaca. Membaca akan membuka wawasan sekaligus menstimulasi otak untuk menciptakan ide-ide segar. ”Pokoknya, baca apa pun. Kuncinya, rajin membaca,” pesan dia.
Slamet menuturkan, meskipun sudah menulis banyak buku, tidak berarti dirinya tidak pernah mengalami kebuntuan ide. Tidak jarang ide mandek di tengah jalan. ”Kalau sudah begitu, saya berhenti sejenak, lalu membaca buku untuk mencari inspirasi,” ucapnya.
Bisa juga dengan menonton televisi. Tapi, tidak jarang, ketika ide buntu, Slamet memilih berjalan-jalan. Biasanya ke toko buku atau perpustakaan.
Slamet mengakui, profesinya sebagai guru banyak ditunjang oleh buku-buku karyanya sendiri. Dia memang tidak menerapkan kurikulum bahasa Inggris yang telah ditetapkan pemerintah secara kaku. Dia punya metode tersendiri untuk membuat siswanya berani berbicara dengan bahasa Inggris, tidak hanya bisa berbahasa Inggris.
Caranya, setiap kali mengajar, dia selalu menunjuk seorang murid untuk bercerita di depan kelas dalam bahasa Inggris. Sang murid bebas bercerita tentang apa saja. Itu dia lakukan untuk melatih keberanian berbicara muridnya di depan umum dalam bahasa Inggris.
Kemudian, secara berkala suami Marsini itu mengagendakan forum debat bahasa Inggris. Sekali waktu dia mengundang orang tua murid untuk menyaksikan putra-putri mereka berdebat dalam bahasa Inggris. Lain waktu dia mengundang masyarakat umum untuk menyaksikan kemampuan anak didiknya bercas-cis-cus.
Setiap tahun pelajaran baru, dia membuat kesepakatan dengan murid-muridnya tentang metode mengajar dan berbagai hal yang terkait dengan proses belajarmengajar di kelas. Termasuk sanksi bila siswa melakukan pelanggaran.
Dalam memberikan sanksi kepada murid, Slamet juga mengambil jalan yang berbeda dengan aturan sekolah. Dia menerapkan sanksi yang diyakininya bisa meningkatkan kemampuan murid dalam berbahasa Inggris. ” Nyontek, sanksinya menerjemahkan satu novel bahasa Inggris. Titip absen, terjemahkan tujuh novel. Sedangkan kalau bolos kelas saya, lima novel,” tuturnya.
Sekilas memang tampak berat. Namun, sebenarnya dia tidak setega itu kepada muridnya. Misalnya, untuk murid yang bolos dan mendapat sanksi harus menerjemahkan lima novel berbahasa Inggris, ayah Leila Nur Hutami, 23, dan Emilia Nur Hanifa, 21, itu hanya meminta si murid menerjemahkan satu–dua bab untuk setiap novel. Bukan seluruhnya.
Hasil didikan kerasnya itu, banyak muridnya yang sukses di pekerjaan masing-masing dengan bermodal bahasa Inggris. Contohnya, seorang muridnya memilih tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang kuliah dan melamar pekerjaan di sebuah kapal pesiar di AS. Si murid sudah 15 tahun bekerja di kapal pesiar tersebut dan berkeliling dunia.
Ada pula murid Slamet yang sudah menamatkan S-3 di Jepang dan memiliki perusahaan di Negeri Sakura. Bila para muridnya itu kebetulan pulang, Slamet langsung mengundangnya ke sekolah untuk berbagi pengalaman saat belajar bahasa Inggris.
Slamet termasuk orang yang yakin bahwa kemampuan bahasa Inggris orang Indonesia tergolong sangat baik. Bahkan tidak kalah dengan mereka yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa ibu. Problemnya, tidak sedikit orang Indonesia yang kurang percaya diri dengan kemampuan bahasa Inggris yang dimiliki. ”Kuncinya, berani berbicara di depan orang lain. Lama-lama jadi biasa,” tutur dia. (*/c11/ari)