Penyandang Disabilitas Bukan Sekadar Objek
Penyandang disabilitas selama ini dianggap kurang mendapat perhatian dari media massa. Mereka pun muncul hanya sebagai objek untuk dikasihani atau diolok-olok. Kini, mereka bertekad tampil dan menjadi penentu isi media.
ANAK-ANAK berkaus hijau itu tampak membawa payung bergambar lucu di dalam gedung KPID Jawa Timur. Mereka hendak menampilkan tarian hujan yang disiapkan spesial untuk acara kemarin pagi. Diiringi alunan musik, tujuh anak tersebut menari dengan semangat di depan para undangan. Mereka adalah anakanak down syndrome yang tergabung dalam Persatuan Orang Tua Anak Down Syndrome (POTADS) Surabaya.
Bersama puluhan penyandang disabilitas lainnya, mereka menghadiri talk show yang diadakan Komunitas Mata Hati (KMH). Selain POTADS, tampak Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Surabaya, Komunitas Arek Tuli (Kartu), dan Forum Komunikasi Pesbuker Surabaya Peduli (FKPSP).
Mengambil tema disabilitas dalam isi siaran, mereka mendiskusikan peran penyandang disabilitas dalam media massa, khususnya penyiaran. Menurut mereka, penyandang disabilitas kurang mendapat kesempatan untuk direpresentasikan atau digambarkan secara benar di media, terutama pada acara televisi.
’’Selama ini, ada rasan-rasan di kalangan teman-teman bahwa disabilitas itu selalu digambarkan kasihan,” tutur Danny Hartanto, ketua KMH sekaligus ketua panitia dalam talk show tersebut. Penyandang disabilitas sering hanya menjadi objek charity. Secara tidak langsung, hal itu membentuk citra penyandang disabilitas yang tak bisa melakukan apa-apa tanpa bantuan orang lain.
Padahal, menurut Danny, banyak penyandang disabilitas yang memiliki potensi, bahkan prestasi. Salah satunya adalah anak-anak dari POTADS. Mereka hadir dalam acara tersebut sembari membawa sekumpulan piala yang menunjukkan prestasi gemilang mereka. Ada yang menjuarai lomba menyanyi, ada pula juara lomba mewarnai. Edward Ryo Wardhana, misalnya. Beberapa gambar hasil karya Edo –sapaan akrab Edward– terpajang bersama piala-piala lain.
’’Memang belum banyak orang yang tahu bahwa anak-anak down syndrome pun bisa berprestasi,” ujar Anastasia Repi, ketua POTADS Surabaya. Dia menuturkan, sejumlah orang tua anak down syndrome belum bisa menerima kondisi anaknya. Karena itu, diharapkan, media dapat menyosialisasikan kepada masyarakat bahwa down syndrome bukan penyakit yang harus dihindari. ’’Mereka sebenarnya sama seperti kita. Hanya, ada aspek-aspek tertentu yang di bawah orang rata-rata,” imbuhnya.
Selain masalah penggambaran di media, KMH mengangkat isu kurangnya akses informasi bagi penyandang disabilitas, khususnya tunarungu. Ketika menonton televisi, mereka tak bisa menangkap informasi sepenuhnya karena hanya bergantung pada tulisan yang tertera di layar kaca. ’’Belum banyak televisi di Indonesia yang menggunakan penerjemah bahasa isyarat untuk tunarungu,” ucap Danny.
Karena itu, Danny dan kawankawan bekerja sama dengan KPID untuk mengadakan talk
show tersebut. Tujuannya, menjembatani penyandang disabilitas dengan pelaku media. Selama ini, banyak penyandang disabilitas yang sulit menyampaikan unekunek ke media karena tak tahu jalannya. ’’Di sini, akhirnya mereka bisa bertemu langsung dengan orang-orang dari televisi dan radio,” lanjutnya.
Para penyandang disabilitas berkesempatan mendengarkan paparan langsung dari Errol Jonathans (radio Suara Surabaya), Eko Purwanto ( iNews TV), serta Agatha Retnosari dari Komisi E DPRD Jawa Timur. Dalam talkshow itu, mereka diajak untuk aktif tampil di media massa agar penyampaian materi disabilitas bisa proporsional dan profesional.
’’Proporsional, artinya mereka mendapat akses informasi yang cukup. Profesional, artinya mereka bisa muncul di TV sebagai sosok yang profesional dan punya prestasi,” jelas Afif Amirullah, ketua KPID Jawa Timur. Jadi, penyandang disabilitas pun bisa menjadi subjek penentu isi siaran, bukan objek belaka. (*/c18/oni)