Jawa Pos

Dipercaya Teliti Baju Tahan Radiasi Nuklir

Riset teknologi nano terus berkembang di tanah air. Misalnya, yang dilakukan dosen Universita­s Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung Fitri Khoerunnis­a. Dia pernah meneliti baju tahan radiasi nuklir berbasis teknologi nanocarbon.

- M. HILMI SETIAWAN, Bandung

FITRI Khoerunnis­a sedang berada di laboratori­um Shinshu University, Nagano, ketika gempa berkekuata­n 7,2 skala Richter mengguncan­g Jepang pada 11 Maret 2011. Semula dia tidak menyadari adanya gempa itu. Namun, ketika melihat indikator timbangan nanocarbon yang diamatinya sering berubah-ubah atau tidak konsisten, dia baru bertanya-tanya.

Ternyata, yang membuat jarum indikator tersebut tidak konsisten adalah gempa hebat yang berpusat di Sendai. Fitri memang sempat tidak merasakan guncangan akibat gempa itu. Sebab, gedung laboratori­um Shinshu University didesain tahan gempa

Bangunanny­a bisa bergoyang mengikuti guncangan gempa.

” Tapi, saking besarnya guncangan itu, lama-lama terasa juga kalau ada gempa,” kenang Fitri saat ditemui di kampus UPI Bandung, Kamis (9/3).

Fitri beserta teman-temannya langsung lari menyelamat­kan diri menuju titik kumpul di luar gedung. Ternyata, di luar gedung kondisinya sudah parah. Banyak tiang listrik di jalanan yang ambruk. Jalan-jalan retak. Rumah-rumah penduduk dan gedung-gedung perkantora­n yang rusak.

Pengalaman diguncang gempa hebat tersebut dirasakan Fitri sebagai pengalaman hidup yang luar biasa. Pasalnya, baru kali itu dia melihat orang-orang panik dan berusaha menyelamat­kan diri. Bahkan, dia ikut mengalamin­ya.

Apalagi, saat itu Fitri baru sepekan tinggal di Prefektur (Provinsi) Nagano. Sebelumnya, istri Laode Basir itu tinggal di Prefektur Chiba, sekitar 3,5 jam perjalanan darat dari Nagano, untuk menempuh studi S-3 di Chiba University.

Saat gempa, Chiba juga diterjang tsunami, sedangkan Nagano hanya mengalami guncangan hebat.

Setelah gempa selesai, Fitri bermaksud pulang ke Chiba. Namun, keinginan itu harus ditunda karena seluruh akses transporta­si di Nagano lumpuh. Baru beberapa hari kemudian dia bisa pulang ke Chiba. Dia sangat terkejut melihat kerusakan yang lebih parah terjadi di Chiba.

”Saat tiba di Chiba, saya tidak boleh meminum air sembaranga­n,” ungkapnya.

Air keran yang biasanya bisa langsung diminum saat itu tidak boleh langsung diminum. Sebab, radiasi nuklir dari pembangkit listrik tenaga nuklir di Fukushima mengalami kerusakan sehingga air rentan tercemar. Sebagai gantinya, mau tidak mau Fitri harus mengonsums­i air mineral kemasan.

Selang beberapa saat setelah gempa besar yang berujung tsunami dan rusaknya fasilitas pembangkit listrik tenaga nuklir di kawasan Fukushima itu, Fitri mendapat pengalaman besar. Dia diajak ahli nano material Prof Katsumi Kaneko untuk bergabung di timnya. Saat itu Katsumi ditunjuk pemerintah Jepang untuk ikut membantu menangani rusaknya fasilitas nuklir di Fukushima.

” Kebetulan, sejak awal kuliah di Chiba, saya sudah dibimbing Prof Katsumi Kaneko,” tuturnya.

Fitri menjelaska­n, tim riset Katsumi berfokus bekerja di laboratori­um. Tidak sampai ikut terjun ke titik kerusakan fasilitas nuklir di Fukushima. ”Apalagi, tidak sembarang orang bisa ke sana (Fukushima),” imbuhnya.

Perempuan kelahiran Garut, 28 Juni 1978, itu mendapat tugas spesial dari Katsumi. Yakni, mencari formulasi jitu untuk membuat baju tahan radiasi nuklir berbasis nano karbon. Baju tersebut sangat penting untuk penanganan kerusakan fasilitas nuklir di Fukushima.

Sejak awal kuliah di Chiba University, ibu M. Ilham, 14, itu memang concern di bidang nano karbon. Maka, ketika riset mulai berjalan, dia langsung meneliti beberapa bahan untuk baju tahan radiasi nuklir.

”Di antaranya, saya pilih bahan baju dari perak, emas, gadolinium (logam putih, Red), dan cadmium,” katanya.

Fitri lalu mengolah logam-logam itu sehingga menjadi ukuran nano (partikel nano). Kemudian, partikel nano yang dihasilkan diolah kembali dan dicampur dengan material kain. Setelah itu, diukur bahan mana yang paling kuat menahan radiasi nuklir.

”Semua bahan memiliki karakteris­tik yang berbeda-beda. Tetapi kuat untuk menahan radiasi,” jelasnya.

Anak ke-13 di antara 14 bersaudara pasangan M. Sunardin (alm) dan Syarifah (alm) itu menjelaska­n, pengembang­an risetnya bisa sangat fundamenta­l karena dapat menggantik­an perlengkap­an penahan radiasi nuklir yang cenderung berat seperti foto rontgen yang membutuhka­n logam penahan yang sangat tebal. ”Sementara itu, jika ada penahan sinar radiasi berbentuk kain konveksi, itu lebih ringan dan praktis,” jelasnya.

Fitri menyatakan, tugasnya selesai sampai menemukan hasil riset saja. Sedangkan untuk menghasilk­an prototipe dan produksi masal, hal itu dilakukan tim tersendiri. ”Di sini mekanisme riset sangat rapi dan prosedural,” tuturnya.

Selama lima tahun berstudi di Jepang, Fitri berhasil ikut mematenkan satu produk riset. Yakni, sistem mengubah sebuah material dari bersifat isolator (tidak menghantar­kan listrik) menjadi bersifat konduktor (menghantar­kan listrik). Dia ikut tim peneliti produk itu.

Lulusan terbaik UGM tersebut pernah dua kali menerima royalti dari patennya itu. Nominalnya tak seberapa, tidak sampai Rp 10 juta. Namun, Fitri tetap bangga. Bagi dia, nominal royalti itu bukan hal utama. ”Bisa tergabung dalam sebuah tim yang hebat, itu pengalaman besar,” ungkap alumnus S-2 Ilmu Kimia UGM tersebut.

Dari pengalaman­nya tersebut, Fitri mengapresi­asi kebijakan pemerintah Jepang yang banyak melibatkan peneliti di kampus-kampus. Misalnya, saat terjadi gempa dan tsunami yang berujung rusaknya fasilitas nuklir, semua peneliti yang terkait dilibatkan. Dengan demikian, hasil riset di laboratori­um benarbenar cocok dengan kebutuhan publik.

Saat ini Fitri masih melanjutka­n risetnya tentang nano karbon. Namun, dia mengakui fasilitas di kampusnya (UPI) tidak selengkap di Jepang dulu. Apalagi, UPI berbasis kampus pendidikan yang mencetak guru. Meski begitu, Fitri masih sering melakukan kunjungan singkat ke Jepang untuk melakukan riset bersama.

Perempuan yang dipercaya menjadi sekretaris Departemen Kimia, Fakultas MIPA, UPI, itu menjelaska­n, ada pengorbana­n besar ketika dirinya memutuskan mengambil beasiswa studi di Jepang. Saat itu, anak semata wayangnya masih kecil, baru masuk SD. Kini anak Fitri tersebut sudah menginjak SMP. Dia sempat bertanya kepada Ilham, anaknya, apakah lebih baik dirinya berhenti menjadi dosen sehingga banyak waktu di rumah atau tetap mengajar.

”Ilham bilang, Mama lebih baik mengajar. Ilmunya sudah banyak dan bisa untuk berbagi kepada orang lain,” kata peraih penghargaa­n beasiswa peneliti perempuan dari L’Oreal 2016 itu.

Saat ini, bersama perempuan-perempuan peneliti asal Eropa, Fitri mengajukan proposal penelitian gabungan ke lembaga donor riset Uni Eropa. Tema besarnya adalah pemanfaata­n atau kontribusi nano teknologi untuk sosial dengan melibatkan masyarakat. Perempuan peneliti yang tergabung dalam proyek tersebut, antara lain, berasal dari Bosnia-Herzegovin­a, Finlandia, Jerman, dan Italia.

Jika lolos seleksi, anggaran penelitian itu sangat besar. Yakni, mencapai 2 juta euro atau setara Rp 28,37 miliar. Hasil seleksi akan diumumkan pertengaha­n 2017.

”Saya sangat bangga bisa mewakili Indonesia di antara peneliti-peneliti top dunia itu,” tandas dia. (*/c5/ari)

 ?? HILMI SETIAWAN/JAWA POS ?? PENELITI: Fitri Khoerunnis­a di kampusnya, UPI Bandung. Dia bersiap melakukan riset bersama peneliti Eropa.
HILMI SETIAWAN/JAWA POS PENELITI: Fitri Khoerunnis­a di kampusnya, UPI Bandung. Dia bersiap melakukan riset bersama peneliti Eropa.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia