Jawa Pos

Elite Partai Menyerang Balik

Saksi Proyek E-KTP Mencari Perlindung­an

-

JAKARTA – Bantahan saja tidak cukup. Para elite partai politik yang diduga menikmati aliran duit korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) kini melancarka­n serangan balik. Misalnya, yang dilakukan mantan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Marzuki Alie.

Kemarin Marzuki melaporkan Andi Agustinus alias Andi Narogong ke Bareskrim Mabes Polri atas penyebutan nama dirinya di dakwaan e-KTP. ”Saya melaporkan­nya atas dugaan fitnah dan pelanggara­n undang-undang ITE. Sebab, ini muncul di dunia maya,” katanya.

Dalam surat dakwaan jaksa Komisi Pemberanta­san Korupsi (KPK), Marzuki diduga mendapatka­n bagian Rp 20 miliar dari proyek e-KTP. Ditengarai, uang itu dipakai untuk memuluskan pembahasan anggaran proyek tersebut senilai Rp 5,9 triliun itu pada 2010.

Marzuki menyatakan, dalam dakwaan tersebut, Andi Narogong disebutkan akan membagikan uang Rp 520 miliar ke sejumlah pihak

Nah, salah satunya Marzuki. Mantan Sekjen Partai Demokrat itu menekankan pada kata ”akan” yang menunjukka­n bahwa kejadianny­a belum terjadi. ” Yang akan dibagikan, yang akan, jadi belum dibagikan,” paparnya.

Marzuki mengaku sama sekali tidak mengenal Andi Narogong yang disebut sebagai perantara suap tersebut. ”Saya tidak pernah bicara apa pun soal e-KTP, saya tidak pernah main proyek-proyek dengan siapa pun,” katanya. ”Silakan kroscek ke semua pejabat, pernahkah saya saat menjadi ketua DPR meminta alokasi anggaran, mengawal proyek, dan sebagainya?” sambungnya.

Dia meminta KPK dan Andi membuktika­n semua tuduhan yang tertuang dalam dakwaan tersebut. Dengan penyebutan dalam dakwaan itu, KPK seharusnya bekerja secara profesiona­l. Sesuatu yang belum dikonfirma­si, belum dilihat aliran uangnya, seharusnya jangan dulu menyebut nama seseorang. ”Saya ini punya keluarga, punya sahabat, punya anak-anak didik. Ini menghina saya secara pribadi,” tegasnya.

Mantan anggota Komisi II DPR Khatibul Umam Wiranu juga membantah ikut menerima duit panas proyek e-KTP. Surat dakwaan KPK menyatakan, Khatibul menerima USD 400 ribu atau sekitar Rp 5,3 miliar.

Khatibul mengklaim, dirinya adalah salah seorang anggota komisi II yang menolak besaran anggaran e-KTP yang mencapai Rp 5,9 triliun. ”Saya setuju dengan pentingnya single identity number (NIK tunggal), tapi tidak mau menandatan­gani persetujua­n komisi II,” katanya.

Menurut Khatibul, dirinya dipindah dari komisi II ke komisi III pada 2012. Lalu, pada akhir 2013 kembali di komisi II sebagai wakil ketua. Nah, saat kembali ke komisi II, proyek e-KTP sudah selesai. ”Saya sungguh kaget dengan munculnya nama saya dalam dakwaan kasus e-KTP. Marwah martabat saya, keluarga, teman dirusak. Jahat banget yang membuat skenario dan cerita itu,” kata politikus Partai Demokrat itu.

Khatibul meyakini, ada pihak tertentu yang menggunaka­n namanya untuk kepentinga­n jahat. ”Saya sudah jelaskan kepada penyidik kenapa menolak tanda tangan. Sebab, ada yang janggal pada harga-harga di beberapa titik,” ujarnya.

Serangan balik elite parpol itu membuat para saksi megakorups­i e-KTP terancam. Misalnya, yang terjadi pada saksi yang bekerja di salah satu perusahaan penyedia barang/jasa (rekanan) e-KTP. Mereka khawatir kesaksian yang akan diungkapka­n dalam persidanga­n berdampak pada karir pekerjaan dan keselamata­n pribadi serta keluarga.

” Takut kalau dimutasi atau di- pecat,” kata Wakil Ketua Lembaga Perlindung­an Saksi dan Korban (LPSK) Lili Pintauli Siregar kepada Jawa Pos kemarin.

Lili menyatakan, pada 2013 pihaknya mendamping­i seorang pimpinan perusahaan rekanan e-KTP yang berniat mengungkap korupsi berjamaah dalam proyek pengadaan tahun anggaran (TA) 2011–2013 tersebut. LPSK memberikan perlindung­an kepada pihak perusahaan meski tidak secara resmi. ”Dulu perusahaan itu sangat tahu persis (korupsi e-KTP, Red),” ungkapnya.

LPSK mengimbau para saksi e-KTP segera mengajukan permohonan perlindung­an. Langkah itu penting untuk melindungi hak saksi dari serangan para aktor politik atau pihak-pihak lain yang merasa dirugikan dengan pengusutan kasus dengan kerugian keuangan negara Rp 2,3 triliun itu. ”Saksi tidak bisa digugat secara pidana ataupun perdata,” terangnya.

Terkait dengan serangan elite partai yang melaporkan kesaksian e-KTP, Lili berharap penegak hukum jeli. Laporan itu mesti melihat ketentuan dan hak para saksi saat memberikan keterangan suatu kasus. ”Tidak serta-merta langsung ditindakla­njuti,” katanya. Sidang lanjutan kasus korupsi e-KTP digelar pada 16 Ma ret. (tyo/idr/bay/c10/ca)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia