Laporan Pelanggaran Etik Meningkat
Data DKPP Selama Pilkada 2017
JAKARTA – Catatan khusus harus diterima penyelenggara pemilu di seluruh daerah selama penyelenggaraan pilkada 2017. Sebab, persentase laporan dugaan pelanggaran etik tahun ini meningkat dibanding pilkada 2015. Berdasar laporan yang diterima Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), hingga kemarin (10/3) telah ada 163 laporan yang diterima dari 101 daerah.
Ketua DKPP Jimly Asshiddiqie menyatakan, secara jumlah, sebetulnya angka 163 laporan masih kurang dari alias di bawah laporan 2015. Saat itu jumlah yang masuk mencapai 174. Hanya, jumlah daerah peserta pilkada dua tahun lalu dua kali lebih banyak. ”Pada 2015 ada 269 daerah. Kalau sekarang kan 101, tapi aduannya 163. Artinya, setiap daerah bisa lebih dari satu,” jelasnya di kantor DKPP, Jakarta, kemarin (10/3).
Jimly menduga maraknya laporan yang masuk tak lepas dari mentoknya pengaduan di Mahkamah Konstitusi (MK). Akibatnya, penyelenggara pemilu menjadi sasaran kemarahan pasangan calon (paslon) atas ketidakadilan proses pelaksanaan pilkada. ”DKPP menjadi tempat melampiaskan rasa jvengkel dan amarah karena tidak ada tempat lain,” imbuhnya.
Seperti diketahui, meski MK membuka peluang pendaftaran sengketa hasil pilkada, tidak semuanya bisa diterima dan berlanjut ke sidang pembuktian. Sebab, ada syarat selisih suara 0,5 sampai 2 persen agar sengketa bisa disidangkan.
Meski demikian, Jimly tidak mempersoalkan jika lembaganya menjadi ”pelampiasan” atas mandeknya jalan di MK. Sebab, secara norma, DKPP pun memiliki tugas menerima aduan dari paslon maupun masyarakat umum.
Di antara 163 laporan yang masuk, lanjut Jimly, pihaknya sudah meneliti 145. Sebanyak 18 laporan sisanya masih akan diteliti. Nah, dari 145 yang diteliti, 60 laporan di antaranya akan disidangkan. Adapun 85 laporan lainnya tidak ditindaklanjuti alias dismis ( dismissed). ”Bukan karena tidak mau, tapi sesuai prosedur tidak ada bukti, maka nggak bisa,” jelasnya.
Jimly juga berharap penyelenggara mulai mempersiapkan buktibukti di persidangan. Hal itu dimaksudkan untuk mengantisipasi upaya ”korbanisasi” penyelenggara atas kekalahan yang diderita paslon. ”Kalau nggak terbukti, ya akan kita lindungi. Tapi, kalau terbukti, ya tidak ada ampun,” tegasnya.
Menanggapi hal itu, Komisioner KPU Arief Budiman menganggap kenaikan persentase laporan dugaan pelanggaran etik tidak berarti terjadi penurunan integritas penyelenggara. Sebab, untuk bisa sampai ke kesimpulan tersebut, dibutuhkan pembuktian di persidangan. ”Jangan-jangan dari 100 persen laporan, 99 persen lainnya tidak terbukti,” ujarnya.
Sebaliknya, lanjut Arief, kenaikan laporan bisa menunjukkan tumbuhnya kesadaran bernegara secara baik pada masyarakat. Sebab, ketidakpuasan tidak lagi dilampiaskan dengan aksi kekerasan ataupun demonstrasi intimidatif. Tapi disalurkan ke prosedur yang ada.
Meski demikian, Arief menegaskan bahwa kenaikan laporan akan tetap menjadi catatan pihaknya. Apalagi kalau dalam persidangan ada banyak penyelenggara yang terbukti menyalahi etik. (far/c9/agm)