Jawa Pos

Sehari Bisa Selesaikan Puluhan Karya

Herlin Susilowati, Terampil Membuat Wayang meski Harus Berkursi Roda

- DENI KURNIAWAN, Madiun

Keterbatas­an fisik tidak serta-merta menahan Herlin Susilowati untuk berkarya. Kendati harus duduk di kursi roda, dia produktif membuat wayang berbagai bentuk.

DERETAN pigura bergambar wayang menempel di dinding teras bercat kuning tua. Gambar wayang didominasi tokohtokoh pandawa seperti Bima dan Arjuna.

Kera putih Hanoman juga ikut menghias bingkai. Wayang-wayang berukuran kecil berbahan kertas menumpuk di meja. Cat air beraneka warna juga tampak menggenang di wadah plastik. ”Kalau wayang berukuran besar berbahan karton bekas,” kata Herlin Susilowati, nyonya pemilik rumah di Jalan Imam Bonjol Gang Jati Jajar, Kota Madiun, itu.

Dia sendiri yang menggambar, mengguntin­g, dan mewarnai wayangwaya­ng berpigura tersebut. Padahal, perempuan 38 tahun itu kesulitan berpindah tempat.

Harap maklum, kedua kaki Herlin (maaf) lumpuh. Sakit polio menderanya tatkala masih balita. Keseharian­nya kini lebih sering di atas kursi roda. ”Cerita ibu, dokter menyuntik saya saat demam tinggi pada usia 2 tahun,’’ tuturnya.

Perlakuan diskrimina­tif sempat dialami Herlin saat hendak bersekolah. Dia ditolak mendaftar ke sekolah reguler sehingga terpaksa masuk ke sekolah luar biasa (SLB). SMAN 5 Kota Madiun akhirnya menerima Herlin hingga lulus pada 2001. ”Saya mendatangi langsung kepala sekolahnya dan berjanji mampu berprestas­i untuk mengharumk­an nama sekolah. Itu pun terbukti,” kenangnya.

Kendati kedua kakinya tak mampu bergerak normal, sepasang tangan Herlin tetap terampil berkarya. Kertas limbah digubahnya menjadi wayang, salah satu warisan budaya Indonesia yang perlu dilestarik­an.

Herlin mengaku mewarisi bakat ayahnya, Sujito, perajin wayang. ”Saya dulu sering lihat bapak saat membuat wayang. Gunungan dari kulit asli ini buatan bapak,” ujar Herlin sambil menunjuk gunungan itu.

Di atas kursi roda, dia bergelut dengan peranti kerajinan wayang sejak 2003. Tatah, gandin (palu dari kayu), talenan (alas kayu), dan tindih (batu untuk menindih pola yang ditatah), sudah sedemikian akrab dengan tangan ibu satu putri tersebut. ”Tatah saya, ada delapan macam. Ukuran dan fungsinya berbeda-beda,” jelasnya.

Herlin memerinci tahap pembuatan wayang dengan tinggi 15–30 sentimeter. Pekerjaan paling awal adalah menggambar pola tokoh-tokoh pewayangan pada kertas.

Dia biasa memanfaatk­an bekas wadah susu sebagai bahan baku. Tahap selanjutny­a, menatah pola gambar tersebut sebelum diwarnai dengan cat air. ”Sekali menatah bisa rangkap lima pola sekaligus,” imbuhnya.

Wayang yang sudah diwarnai perlu dilapisi vernis. Herlin mengingink­an karyanya lebih awet dan mengkilap seperti wayang asli dari kulit. Dia tidak lupa memasang garan (bambu untuk pegangan wayang). ”Kalau sambungan di bagian tangan, saya pakai batang cotton bud yang dipotong pendek dan dibakar pada ujungnya,” katanya.

Tangan Herlin amat cekatan. Dalam sehari, dia biasa merampungk­an puluhan wayang. Namun, proses finishing bergantung cuaca lantaran wayang perlu dijemur untuk mengeringk­an lapisan vernis. ”Sekarang susah mencari orang yang mau belajar membuat wayang,” ungkapnya.

Daya edar wayang buatan Herlin menjangkau sejumlah kota besar. Reseller di Bali kerap memesan wayang tatahan Herlin dalam jumlah besar lantaran banyak turis yang tertarik. (*/hw/c24/diq)

 ?? WS HENDRO/JAWA POS RADAR MADIUN ?? PANTANG MENYERAH: Sebagai ibu rumah tangga, Herlin Susilowati tergolong produktif meski memiliki keterbatas­an fisik.
WS HENDRO/JAWA POS RADAR MADIUN PANTANG MENYERAH: Sebagai ibu rumah tangga, Herlin Susilowati tergolong produktif meski memiliki keterbatas­an fisik.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia